BAB I
Atashi no name wa Yoshikawa Raina desu. Jussai desu. Atashi no okaasan wa Indoneshia-jin desu 1). Ya… itulah aku, seorang anak blesteran Jepang-Indonesia yang saat ini baru berusia sepuluh tahun. Status kewarganegaraanku saat ini masih sebagai warga negara Jepang mengikuti kewarganegaran ayahku. Sama seperti Indonesia, Jepang juga merupakan negara kepulauan. Jepang memiliki 6800 lebih pulau dan 340 diantaranya berukuran diatas 1 km2. Saat ini aku masih duduk di kelas empat SD. Sejak lahir aku belum pernah menginjakkan kakiku di tanah kelahiran ibuku. Aku tinggal dengan kakek dan nenekku yang asli Jepang. Kakekku sangat keras dan disiplin sedangkan nenek penyabar dan penuh pengertian.
Setelah kedua orang tuaku meninggal empat tahun lalu merekalah yang merawatku, walaupun harus aku akui bahwa hubunganku dengan kakekku kurang begitu baik tapi aku sangat menyayanginya. Perbedaan latar belakang budaya dan adat istiadat itulah yang membuat kakek menentang keras pernikahan kedua orang tuaku. Ayahku bertemu dengan ibu saat tugasnya ke Indonesia sebagai wakil duta besar Jepang untuk Indonesia. Selama lima tahun mereka saling mengenal barulah mereka memutuskan untuk menikah. Hal inilah yang membuat kakek berang dan membuang ayah.
1) Namaku Raina. Aku berumur sepuluh tahun. Ibuku orang Indonesia.
Aku lahir di Hokkaido pada awal musim semi. Aku merupakan anak tunggal dari pasangan Yoshikawa Tatsuo dan Purbasari Astuti yang merupakan wanita asli Jogjakarta. Mungkin kakekku merasa bahwa seorang keturunan samurai yang bermartabat seperti dia tidak pantas untuk mendapatkan menantu dari seorang penjual Gudeg Jogja. Kakek Koji sangat bangga akan nenek moyangnya yang merupakan samurai hebat di jaman Edo. Dari cerita yang kudengar dari ayah, kakek buyut kakekku dulu sangat menentang restorasi Meiji dan ia merupakan salah satu orang yang memiliki kedudukan penting dizamannya sehingga keluarga mereka sangat ditakuti dan disegani dimasanya.
Ibuku merupakan putri bungsu dari dua bersaudara. Kakak laki-laki ibu tinggal di Lampung bersama istri dan sepasang putri kembarnya. Aku masih punya seorang nenek dari ibuku yang tinggal di Jogjakarta tapi aku tak pernah sekalipun bertemu dengannya, kalau Pak De Yasin dan istrinya pernah sekali datang ke Jepang pada saat liburan. Pak De hanya seorang pemilik restoran kecil di Lampung sedangkan Bu De Marni seorang pegawai negeri golongan IIIb di jajaran pemda kota Bandar Lampung. Mereka cukup baik terhadapku.
Hari ini adalah hari kunjungan karya wisata sekolahku ke Osaka, sebuah daerah yang cantik di Jepang. Selama di Osaka kami berkunjung ke Osaka Dome, Benteng Osaka dan beberapa tempat lainnya disana. Dan pada saat kami berada di Benteng Osaka, aku bertemu dengan seorang anak laki-laki seusiaku, sekolahnya juga mengadakan kunjungan wisata seperti kami.
“Atashi wa Hakamada Takeshi desu. Anata no namae wa dare desuka”, tanyanya padaku” 2)
“Atashi wa Yosikawa Raina desu” 3)
“Yoshikawa Chan, Yoroshiku. Anata wa doko kara kimashitaka” 4)
“Tokyo desu. Anata wa Tokyo kara kimashitaka” 5)
“Hai, atashi desu” 6)
Perkenalan yang sangat singkat, namun sejak saat itu aku dan Hakamada-Kun menjadi sahabat dekat. Bahkan kami saling memanggil nama masing-masing. Senang rasanya punya seorang sahabat, apalagi untuk anak sepertiku yang tak punya banyak teman. Aku jarang keluar rumah setelah pulang sekolah. Teman-temanku terbatas hanya disekolah dan beberapa dari tetangga dekat rumah. Mungkin aku adalah tipe anak yang kurang bergaul dan sangat tertutup. Bukan berarti aku senang dengan keadaanku yang seperti ini. Aku sering merasa kesepian. Ingin rasanya aku menjadi seperti anak-anak lainya yang memiliki keluarga yang utuh. Tidak seperti aku yang sebatang kara hidup di negeri yang tidak begitu aku kenal. Walaupun disini aku mempunyai kakek dan nenek, namun aku selalu merasa hidupku hampa dan begitu sepi. Tapi sejak bertemu dengan Takeshi kesedihan dan kesepianku sedikit berkurang. Walaupun kami sama-sama berada di Tokyo, tapi sekolah kami berjauhan. Kami biasa berkirim surat, kadang-kadang juga saling menelepon. Hal itu berlangsung selama dua tahun sampai kami lulus dari sekolah dasar, setelah itu kakek mengirimku ke Indonesia.
2) Nama saya Hakamada Takeshi. Siapa namamu?.
3) Nama saya Yoshikawa Raina
4) Senang bertemu denganmu Nn. Yoshikawa. Anda berasal dari mana?
5) Saya berasal dari Tokyo. Kamu juga dari Tokyo?
6) Ya, saya dari Tokyo.
Sebenarnya bukan tanpa alasan kakek melakukan hal itu. Beberapa waktu sebelumnya terjadilah pertengkaran hebat antara aku dan kakek. Aku tidak terima saat ia menghina ibuku. Kami berdua sama-sama keras kepala, tak ada seorangpun dari kami yang mau mengalah. Sampai-sampai nenek begitu shock melihatnya sehingga penyakit darah tingginya kumat. Selama sepuluh hari nenek harus mendapatkan perawatan intensif dari tim dokter di rumah sakit umum pusat di Tokyo. Aku merasa sangat bersalah kepada nenek namun aku sudah bertekat untuk meninggalkan negeri yang sudah membesarkan aku selama dua belas tahun. Berat rasanya aku meninggalkan negeri yang penuh kenangan ini, apalagi nantinya aku harus pergi kenegeri yang tak pernah sekalipun aku pijak, sebuah negeri yang hanya aku dengar dari cerita-cerita ibu semasa aku kecil.
“Kyoo wa Indoneshia ni ikimashu. Nihon e kaerimasen. Indoneshia ni sunde imasuka. Ima ikanakareba naranai to omoimasu. Sumimasen, sorosoro kaeranakareba narimasen. Achira de tsuitara, sugu anata ni tegami o dashimasu. Sayoonara Taheshi-san ”7)
Aku menulis sebuah surat untuk Takeshi, beberapa menit sebelum pesawat yang akan membawaku ke Indonesia berangkat. Mungkin ini adalah surat yang terakhirku untuknya. Sebuah surat yang sangat singkat. Aku menitipkan surat itu pada nenek karena hanya dia seoranglah yang mengantarku pergi.
7) Hari ini saya akan pergi ke Indonesia. Tidak akan pulang lagi ke Jepang. Aku akan tinggal di Indonesia. Sekarang aku harus pergi. Maafkan aku, tapi saya benar-benar harus pergi. Aku akan kirim surat begitu sampai disana. Selamat tinggal Takeshi”
Nenek menangis saat aku harus pergi, namun tekadku sudah bulat. Saat pesawat tinggal landas airmataku menetes. Hatiku terenyuh. Aku pandangi bumi sakura yang makin lama makin terlihat mengecil dari jendela pesawat. Dalam hati aku hanya bisa berkata, “Sayonara atashi no dai sukii na hito. Zutto anatagata o aishiteru. Zutto anatagata o omotteru. Watashitachi no koto o itsumo omotteru. Anatagata ga koishikunaru”8).
Pak De ku sudah mengurus segala keperluan untuk kepindahanku, dokumen-dokumen imigrasi juga surat pindah sekolah. Mungkin aku akan mendapat teman-teman yang baru disana dan mungkin juga aku akan menemui hal-hal baru yang tak pernah aku temui sebelumnya. Aku sudah mengirimkan kabar kepada Pak De Yasin. Dia yang akan menjemputku ke Jakarta. Aku akan tinggal bersamanya di Lampung. Dan pak de akan menyekolahkan aku disana. Aku tak tahu apa yang akan menghadangku nanti. Aku sama sekali tak tahu adat istiadat yang berlaku di Indonesia. Bahkan bahasa Indonesiaku pun tidak begitu lancar. Rasa takut menyelimuti ruang hatiku. Aku akan berada disebuah negeri yang tak pernah aku pijak tanahnya dan tak pernah aku hirup udaranya. Entah bagaimana nantinya aku. Aku hanya berdoa kepada Tuhan agar aku dimudahkan dalam segalanya disana. Pukul sebelas tepat pesawat yang aku tumpangi mendarat dibandara Soekaro-Hatta, Jakarta.
***
8) Selamat tinggal orang-orang yang kucintai. Aku akan selalu mencintai kalian. Aku selalu mengenang kalian. Terimakasih atas segala kenangan yang indah. Aku akan merindukan kalian.
Hatiku berdebar-debar saat pertama kali menginjakkan kaki kebumi melati. Aku duduk dikursi ruang tunggu bandara, sepuluh menit kemudian Pak De Yasin datang. Kami langsung meneruskan perjalanan menuju pelabuhan Merak untuk menyebrang ke Sumatra. Sepanjang perjalanan aku selalu memperhatikan keadaan sekeliling. Ramainya lalu lintas ibukota, antrian kendaraan di pelabuahan sampai hamparan biru Selat Sunda. Pukul sepuluh malam kami tiba dirumah Pak De Yasin di pusat kota Bandar Lampung.
Setiba dirumah hanya bude yang menyambut kami didepan pintu. Putri kembar mereka Syula dan Shaila sudah tidur sejak satu jam yang lalu. Aku mendapat kamar sendiri, walaupun ukurannya hanya dua setengah kali tiga meter saja. Didalamnya hanya terdapat sebuah kasur kecil yang terletak diatas lantai yang dilapisi selembar tikar, sebuah lemari plastik kecil untuk meletakkan pakaian, kaca berbentuk bulat yang tertempel di dinding, meja kecil dan bangku plastik berwarna hijau. Aku rebahkan tubuhku yang begitu penat keatas kasur. Sulit sekali aku memejamkan mata, baru pukul satu pagi baru aku bisa terlelap.
****
Hari senin merupakan hari diawal minggu yang sangat sibuk. Hari ini hari pertama ku bersekolah, Pak de sudah mengurus semuanya. Aku akan bersekolah disekolah yang sama dengan si kembar Syula dan Shaila, tapi tidak dalam kelas yang sama. Tahun ajaran baru merupakan hari-hari yang sangat mendebarkan bagi anak-anak yang baru akan memulai hari-harinya disekolah yang baru. Kenyataan yang aku hadapi sangat berbeda dari bayanganku selama ini. Gedung dan suasana sekolah yang aku lihat saat ini sangat jauh berbeda dengan apa yang pernah aku alami di Jepang dulu. Begitupun pola pergaulan dan lingkungan disekitarnya. Sekolahku terletak agak jauh dari jalan raya utama, jadi untuk mencapai sekolah kami harus sedikit berjalan kaki melewati jalan aspal yang lebarnya kurang lebih tiga meter. Jarak dari jalan raya utama menuju sekolahku sekitar eman atau tujuh ratus meter. Jarak yang cukup lumayan. Tapi jika pagi hari ada saja angkot yang mau mengantarkan kami sampai depan pintu gerbang sekolah.
Sekolahku tidak begitu besar, berlantai dua, karena permukaan tanah yang tidak sama maka sekolah dibagi menjadi dua komplek, komplek A berada didepan pintu masuk sedangkan komplek B berada disebelah kiri dari pintu masuk, lahannya agak lebih tinggi dua meter dari komplek A. Ada lapangan kecil didepan gerbang sekolah biasanya dipakai untuk upacara bendera dan murid-murid berolahraga. Tempat parkirnya pun tidak begitu besar, hanya mampu menampung beberapa mobil dan puluhan motor. Jarak antar gedung sangat dekat, hanya beberapa meter saja. Kantin sekolah terletak disamping laboratorium IPA, cukup sederhana, hanya ada tiga kios kecil yang menjajakan makanan untuk siswa. Di ujungnya ada rumah kecil tempat penjaga sekolah dan keluarganya tinggal. Disudutnya ada gudang alat-alat olahraga dan WC untuk guru dan murid. Disebelahnya ada tiga ruang kelas, begitu juga ruang kelas yang ada disebrangnya yang bersebelahan dengan ruang tata usaha, ruang guru dan ruang kepala sekolah, diantara ruang kelas dan ruang tata usaha ada sebuah lorong kecil. Ruang kepala sekolah terletak disebelah kiri lorong, dan ruang tata usaha ada disebelahnya. Setelah itu barulah ruang guru yang letaknya sejajar dengan ruang kelas yang ada. Sementara itu komplek B ada dua gedung yang berhadap-hadapan dan dipisahkan oleh tanah berukuran kurang lebih tujuh atau sembilan meter, masing-masing gedung berisi tiga kelas dilantai satu dan tiga kelas dilantai dua. Dibelakang gedung yang berada sejajar dengan gerbang sekolah di komplek B terdapat sebuah kantin kecil.
Hari ini hari pertama masuk sekolah semester pertama dan minggu ini pun hanya diisi dengan masa orientasi siswa. Yaitu masa dimana siswa-siswa baru diperkenalkan dengan cara belajar, lingkungan sekolah dan sistem belajar yang berlaku di sekolah menengah pertama. Materi-materi yang diberikan oleh para guru sangat menarik perhatianku, tidak hanya guru namun para senior pun juga terlibat untuk mengisi selang waktu yang ada. Aku sangat menikmati hari pertamaku di sekolah. Saat ini seorang kakak tingkat menyuruh setiap anak maju kedepan untuk memperkenalkan dirinya masing-masing dan tibalah giliranku.
“Selamat pagi teman-teman. Senang bertemu dengan kalian. Namaku Raina Yoshikawa. Umurku dua belas tahun. Aku berasal dari Tokyo. Aku lahir dan besar disana. Maaf jika bahasaku kurang bagus dan banyak yang salah. Mohon kerjasamanya”, ucapku terbata-bata saat disuruh memperkenalakan diri kedepan kelas.
Aku sangat gugup karena ini kali pertamaku berkomunikasi dengan orang-orang Indonesia selain ibuku dan keluarga Pak De Yasin. Apalagi mereka memandangku penuh tanya. Mereka saling berbisik saat aku mengatakan bahwa aku berasal dari Tokyo. Mereka mengira aku ini anak keturunan cina karena kulitku yang putih dan mataku yang sedikit sipit, walaupun tak sesipit mata orang-orang Jepang asli. Aku rasa itu reaksi yang wajar karena penampilanku yang tidak seperti anak Indonesia pada umumnya dengan kulit sawo matang dan bermata besar. Aku tidak begitu perduli dengan reaksi mereka. Aku mencoba untuk bersikap wajar.
Masa orientasi hanya berlangsung selama satu minggu. Setelah itu hari-hari yang kulalui disekolah baruku ini berjalan seperti umumnya sekolah-sekolah yang lainya. Aku mendapat cukup banyak teman disini, diantaranya adalah Arin yang merupakan teman sebangkuku. Dia yang selalu membantuku jika mengalami kesulitan dalam berbahasa ataupun dalam bersosialisasi dengan yang lainya. Begitupun dengan Shaila, dia sering datang kekelasku dan mengajakku bermain bersama saat istirahat tiba. Lain halnya dengan Syula, dia tidak pernah terlihat bersama adik kembarnya jika berada bersamaku disekolah. Ia terkesan menjauh dari ku,ia memang agak sedikit berbeda dari Shaila yang begitu polos, periang, dan suka bergaul dengan siapa saja. Tapi dibalik keceriannya itu sebenarnya fisik Shaila sangat lemah, dia sejak bayi sudah mengidap kelainan jantung. Bahkan ia mendapat dispensasi khusus untuk mengikuti olahraga yang berat-berat. Shaila sering bolak-balik rumah sakit untuk check up. Jika sedang kambuh, wajahnya pucat sekali dan ia hanya bisa terbaring di atas tempat tidur. Sudah satu semester kami bersekolah, selama itu Shaila sudah tiga kali bolak-balik rumah sakit bahkan yang terakhir kalinya ia harus diopname selama tiga minggu. Aku kasihan sekali melihatnya terbaring lemah dirumah sakit.
Hari ini pun kondisinya tidak begitu baik, ia terlihat pucat dan sangat lemah. Seharian ia hanya berbaring diruang UKS, dan parahnya lagi ia lupa membawa obat yang seharusnya tak boleh terlambat diminumnya. Saat memasuki jam pelajaran ke lima Pak Udin, orang kepercayaan pak de, datang menjemputnya untuk pulang lebih cepat. Shaila biasa diantar jemput oleh Pak Udin dengan motor, sedangkan Syula lebih suka pulang bersama teman-teman satu gengnya. Dia biasa pulang jam empat sore, ia tak langsung pulang kerumah, biasanya dia dan teman-temannya suka nongkrong di Mall atau swalayan dulu. Aku selalu pulang tepat waktu, pukul dua lewat lima belas menit aku sudah berada dirumah. Sekolah kami pulang pukul satu empat puluh lima menit. Jarak dari sekolah kerumah pak de hanya setengah jam.
Tapi hari ini aku tidak langsung pulang, aku minta izin untuk pulang terlambat, aku dan Arin sudah janji untuk belajar kelompok dirumahnya. Rumah Arin cukup bagus dan besar. Perabotannya juga bagus-bagus dan mewah. Rumahnya terletak di Teluk Betung, hanya beberapa ratus meter dari perpustakaan daerah. Saat ini waktu menunjukkan pukul lima sore saat aku berpamitan dengan orang tuanya Arin untuk pulang. Aku menumpang DAMRI dalam kota menuju terminal Ramayana. Di dalam bus kota yang sangat penuh itu ada seorang pengamen tua yang biasanya mangkal dekat sekolahku. Kami biasanya memanggilnya dengan sebutan Mang Jon, nama sebenarnya adalah Suparjono, cucu mantan veteran yang sudah berumur enam puluh sembilan tahun. Kakeknya Mang Jon baru meninggal dunia dua bulan yang lalu karena usianya yang sudah renta, 98 tahun, dulunya ia adalah mantan pejuang kemerdekaan dan pernah bergabung dengan pasukan yang dipimpin oleh jendral besar Sudirman. Aku pernah sekali bertemu dengan beliau saat menjengguknya bersama Arin dan Shaila di gubuk kecilnya Mang Jon. Bagiku Mang Jon adalah figur seorang pejuang hidup yang suka bekerja keras, jujur dan bersahaja. Umurnya memang sudah renta tapi fisiknya masih gagah, dia mampu mengamen dari bus kota satu ke bus kota lainnya, dari terminal ke terminal lainnya dari pukul tujuh pagi hingga pukul enam sore. Penampilannya yang nyentrik sangat menarik perhatian orang, topi pet gaya tentara berwarna hijau lumut yang sudah lusuh, kacamata reben yang diberi rantai, kaos loreng dan celana panjang hitamnya serta sepatu botnya yang juga tampak sudah tua juga. Dalam aksinya ia selalu membawa gitar tua dan harmonika kesayangannya.
Aku turun di terminal bawah Ramayana begitu pula Mang Jon. Dia berjalan ke sudut terminal didepan tempat parkir dibawah gedung Ramayana. Dia duduk dikursi dekat lapak penjual rokok, wajahnya tampak lelah, ia membeli segelas air mineral di lapak rokok itu. Aku mendekatinya.
“Mang Jon”, sapaku padanya.
“Eh…eneng Jepang. Baru pulang, Neng?”
“Iya, Mang”
“Kok sore sekali. Tumben”
“Tadi kami belajar kelompok, ada tugas kelompok dari guru. Kami harus membuat makalah tentang keadaan sosial ekonomi masyarakat pada saat ini. Tapi bahan-bahan yang kami dapatkan tidak begitu banyak. Rencananya kami akan browsing di internet besok sepulang sekolah”
“Wah, Neng ini rajin juga. Yah… keadaan ekonomi masyarakat saat ini sangat memprihatinkan. Kemiskinan ada dimana-mana. Kesenjangan sosial tampak jelas dalam keseharian kita. Yang kaya semakin memperkaya dirinya, yang miskin semakin merana. Masyarakat sekarang kurang memperdulikan keadaan lingkungan disekitarnya. Mereka seolah tak mau perduli dengan tetangganya yang kelaparan atau yatim piatu yang terluntang lantung dijalan”
“Oh…begitu kah?”
“Mereka makin bersikap individualistis dan egios. Tak seperti dulu. Walaupun dulu kami masih dalam masa penjajahan, meskipun makanan sulit didapat tapi masyarakatnya masih mau saling membantu tetangganya yang kurang mampu. Dan alam pun masih sangat bersahabat dengan manusia. Masih sangat alami dan segar”
“Iya, Mang. Sekarang ini polusi terjadi dimana-mana, sampah bertaburan disembarang tempat. Dan banyak perusakan alam baik di darat, laut maupun udara. Tapi ngomong-ngomong lagu yang tadi Mang Jon nyanyikan bagus juga. Ciptaan siapa, Mang?”
“Ooh… lagu itu ciptaan saya sendiri. Judulnya Ujang Dullah. Lagu itu terinpirasi dari teman Mang Jon sewaktu di ibukota dulu. Kami bertemu di atas kapal saat menyebrang ke Merak. Kami yang waktu itu sama-sama muda nekad datang ke Jakarta. Waktu itu tahun 1964, kami yang waktu itu berumur dua puluh enam tahun ingin mengadu nasib ke ibukota. Tapi diperjalan kami berpisah, dua puluh tahun kemudian kami bertemu kembali, namun keadaannya lebih mengenaskan dari pada saya. Jadi saya terinspirasi untuk membuat lagu berdasarkan kisah hidupnya. Neng mau dengar?”
“Boleh”, kataku. Aku duduk dikursi sebelah Mang Jon.
Dia mulai memainkan gitarnya dan harmonika yang disangkutkan dibahunya dengan menggunakan penyangga yang terbuat dari besi. Mang Jon memainkan sebuah syair lagu yang dia ciptakan sendiri, iramanya agak cepat, seperti irama musik country yang energik. Ekpresi wajahnya pun berubah mengikuti syair lagu yang didendangkannya.
Ujang Dullah kawanku
Datang dari Sumatra menuju ibukota
Pamit mencari sebutir beras dan sepotong ikan asin
Dari kais sisa-sisa tanah airnya
Bumi sebrang yang penuh mimpi
Ingin digapainya dalam cita-cita suci
Dalam kejamnya nafas ibukota
Ujang Dullah kawanku
Hidupnya tak berpulang asa dan cita-cita
Perut perih mata tak terjaga
Sehelai oblong cabik pembalut tulang
Dan sepotong hawai lusuh tanpa alas kaki
Modal hidup yang tersisa darinya
Ujang Dullah kawanku
Yang terkandas dan terhempas
Tertidur dalam damainya bumi Jayakarta
Tubuh kurus Mang Jon berekspresi seiring dengan alunan lagu yang dia mainkan. Banyak hal yang aku dapatkan dari perkenalanku dengan Mang Jon, dia selalu memberikan nasehat dan petuah-petuah hidup kepadaku. Dia mengajarkan bagaimana cara menghadapi masalah tanpa harus menimbulkan masalah baru, bagaimana kita harus menyikapi hidup ini dengan bijaksana dan penuh kesabaran, kita harus bijaksana dalam perbuatan, perkataan ataupun ucapan.
Di Indonesia ini banyak yang mengatakan bahwa ibukota lebih kejam dari pada ibu tiri. Semua orang berlomba-lomba mendapatkan apa yang mereka inginkan walaupun dengan menempuh berbagai cara. Jarang yang terbentanga antara si kaya dan si miskin sangat lebar. Namun dalam pandanganku tidak hanya di ibukota saja ketimpanga itu terjadi.
Aku memandang disekelilingku, banyak orang hilir mudik, sibuki dengan segala urusan pribadinya masing-masing. Panas dan pengapnya udara kota ini di musim kemarau tak cukup membuat orang-orang itu sadar. Bahkan disudut jalan yang dapat dengan jelas aku pandang, ada dua orang laki-laki yang sedang beradu mulut meributkan sesuatu, nyaris saja mereka adu otot. Namun tak ada seorangpun yang mencoba untuk menengahinya, disisi lain tiga orang anak yang masih belia dengan pakaian lusuhnya, saling berebut untuk naik keanggkot. Mereka ingin naik? Ternyata tidak. Mereka hanya duduk dipintu angkot yang sedang berjalan itu sambil mbernyanyi dan membunyikan alat music sederhana yang mereka bawa. Ada pula yang hanya berbekal sebuah mangkok kecil ditangannya, meminta-minta dari satu angkot ke angkot lainnya.
Kota ini tidak hanya panas, berdebu dan pengap saja, namun penuh dengan berbagai macam sampah sisa manusia yang menghiasi sepanjang jalan dan selokan-selokan disemua sudut kota ini. Aku hanya bisa menarik nafas panjang, mengelus dada memandang kota tua yang sedang berduka ini. Kenapa dinegeri yang begitu besar ini tak ada seorang pun yang mau perduli dengan sesamanya, dengan alamnya yang sudah memberi mereka hidup dan kehidupan. Dari cerita yang ku dengar dari ibuku dulu, negeri melati ini sangat besar, kaya raya dan mempunyai bumi yang sangat subur. Sebelum aku meninggalkan Jepang, aku sempat membayangkan bahwa disini aku akan menemui sebuah negeri yang begitu cantiknya, dengan hamparan hutan-hutan yang lebat dan bumi yang berudara segar.
Negeri cantik yang selalu dibanggakan mama kepada ku ini tidak cukup daya untuk mempertahankan dirinya yang sedang dalam dilemma. Sama seperti papa yang juga bangga akan negerinya yang selalu dikatakan orang sebagai negeri perkasa. Begitu sayangnya mama dengan negeri ini sehingga aku pun ikut terpengaruh dengan kecintaannya yang luar biasa terhadap negeri ini. Dirumah pun mama menggunakan bahasa Indonesia jika berbicara kepadaku. Sedikit banyak aku paham dengan bahasa ibuku itu walaupun aku sedikit susah mengucapkannya. Bahasaku terpatah-patah dan kurang lancar. Aku memang lebih dekat dengan mamaku dibandingkan dengan papa. Mungkin karena papa memiliki kegiatan yang sangat banyak diluar rumah, sehingga waktuku lebih banyak kuhabiskan bersama mama.
Pada awal-awal kedatanganku dulu aku sempat merasa tidak nyaman dengan atmosfir yang kuhirup dimegeri ini. Aku merasa asing dan terasing dalam sebuah lingkup kultur yang jauh berbeda dengan yang pernah aku lihat sebelumnya. Rasa cintaku terhadap negeri ini mulai tumbuh, aku berjanji akan belajar dengan giat dan memberikan sesuatu yang terbaik bagi negeri ini kelak.
Tekat itu sudah terpatri dalam diriku, demi mama dan sebuah negeri yang begitu dicintai oleh mama dengan segenap hatinya. Negeri dimana mamaku lahir dan dibesarkan. Cukup lama aku dan mang Jon mengobrol. Banyak hal yang kami berdua bicarakan dan tanpa terasa waktu sudah menjelang magrib. Lima menit lagi azan magrib akan berkumandang. Setelah berpamitan dengan Mang Jon aku bergegas pulang. Sampai dirumah sudah pukul eman empat puluh sore, buru-buru aku mandi dan wudhu, lalu sholat. Setelah itu aku duduk dibelakang meja tulisku, aku harus menyelesaikan pekerjaan rumahku untuk besok.
Tiba-tiba saja Bu De Marni dan Syula masuk ke kamarku tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu, wajah bu de merah padam. Dan benar saja, aku dimarahinya habis-habisan. Mungkin Syula mengadukan hal yang bukan-bukan tentangku. Dia mengatakan bahwa akulah yang memecahkan porselin ukir dari China kesayangan Bu De. Aku hanya bisa menangis sambil menutup wajahku dengan bantal, ku buka laci meja belajar, dari dalamnya kuambil selembar photo ayah dan ibu yang diambil sewaktu kami bertamasya ke pemandian air panas.
“Anata ni aitai, Okaasan. Atashi wa anatagata o aishite imasu. Hito ni issho wa mijikai mono da. Tsugi ni nani ga okoru ka dare ni mo wakaranai. Kimochi ga warui” 9)
9) Aku ingin bertemu dengan mu ibu. Aku menyayangi kalian berdua. Betapa pendeknya kehidupan ini. Tak ada seorang pun yang tahu apa yang terjadi. Perasaanku tak enak.
Aku tertidur sambil tetap memegangi foto ayah dan ibu dan aku baru terjaga ketika azan subuh bergema. Buru-buru aku bangun untuk shalat. Kemudian aku pergi kedapur untuk membantu bu de memasak, mencuci piring dan membereskan rumah. Namun tak sepatah kata pun aku dapati dari bibirnya, mungkin bu de masih marah kepadaku. Dia tak banyak bicara, aku pun begitu. Aku tak berani menentangnya. Seandainya saja pak de dan Shaila ada disini, mungkin mereka akan menghibur dan menyemangatiku.
Sayangnya saat ini pak de sedang menunggui Shaila yang rabu malam kemarin dilarikan kerumah sakit lagi. Rupanya ia terlalu memporsir dirinya menghadapi ujian semester yang akan diadakan lusa, sampai-sampai ia lupa dengan penyakitnya. Memang ia jarang masuk sekolah, jika kondisinya tak begitu baik, bu de menyuruhnya beristirahat di rumah. Tentunya hal itu membuatnya banyak tertinggal dalam pelajaran. Apalagi Senin kemarin ia memaksa ikut ujian praktek olahraga yang aku saja merasa sangat berat dan melelahkan. Hari ini hari minggu. Matahari sudah tinggi, sudah pukul sembilan pagi, Syula baru keluar dari kamarnya. Sehabis subuh tadi ia langsung tidur lagi. Bu de Marni sudah selesai bersiap-siap untuk menyusul kerumah sakit. Bu de berangkat dengan diantar Pak Udin, setelah itu Pak Udin langsung berangkat ke restauran. Selama kondisi Shaila belum pulih, pak de mempercayakan segala hal yang berkaitan dengan pengelolaan restoran kepada Pak Udin. Ia ingin fokus terhadap kesehatan putrinya bahkan bu de pun sengaja mengambil cuti panjang dari kantornya.
Seharian ini aku tidak kemana-mana, aku hanya duduk menonton televise paviliun atau sekedar membaca komik. Syula pergi bersama teman-temannya ke mall. Saat aku selesai sholat asar Pak Udin datang memberitahukan agar aku menyusul kerumah sakit dengan membawakan pakaian ganti dan berkas riwayat penyakit Shaila yang tertinggal dirumah. Aku segera berangkat menyusul mereka, aku juga membawakan kue yang kubuat tadi dan bekal makan malam buat pak de dan bude. Mungkin ini bisa dianggap sebagai permintaan maafku atas keteledoranku tempo hari. Setibanya dirumah sakit aku mendapati pak de dan bu de duduk di kiri dan kanan tempat tidur Shaila. Aku tak dapat menahan airmataku yang menetes ketika melihat Shaila terbaring tak berdaya diatas tempat tidurnya. Sejak masuk kerumah sakit lima hari yang lalu baru kali ini aku menjengguknya. Wajahnya pucat pasi, tubuhnya tampak kurus. Selang infus dan alat batu pernafasan masih terpasang lengkap ditubuhnya. Aku tak tahan melihatnya seperti itu. Aku keluar sebentar untuk menenangkan diriku. Perasaanku saat itu sangat tidak menentu. Aku terus saja berjalan menyusuri lorong demi lorong rumah sakit. Sejurus kemudian aku mulai memperhatikan disekelilingku, banyak penjual asongan lalu lalang dengan leluasa di sekitar ruang perawatan pasien, tidak hanya itu, di pinggir-pinggir lorong rumah sakit juga banyak terdapat orang-orang yang berjualan, mulai dari makanan dan minuman ringan, mainan anak-anak sampai nasi bungkus pun ada disana. Sungguh pemandangan yang sangat kontras dengan apa yang pernah aku saksikan dirumah sakit pusat di Tokyo saat nenek dirawat dulu. Ruangannya bersih, rapi dan tentunya tak ada pedagang yang hilir mudik di dalam ataupun disepanjang lorongnya. Hal ini tentu akan mengganggu ketenangan pasien. Tapi aku tak dapat menyalahkan mereka begitu saja, para pedagang itu tentunya butuh sesuap nasi hanya untuk sekedar mengganjal perut mereka, walaupun dengan itu mereka harus membuat orang lain merasa sedikit “tidak nyaman”.
Langkahku terus menuju pintu keluar samping rumah sakit umum Abdul Muluk yang merupakan rumah sakit umum daerah dikota ini. Langkahku terhenti didepan portal pembatas, dari sana aku dapat menyaksikan betapa semrawutnya angkutan kota di sepanjang jalan didepan rumah sakit. Di sebrang jalan banyak terdapat kios-kios pedagang yang menjual keperluan pasien seperti handuk, pakaian ganti, aneka buah-buahan, makanan dan minuman, kios Koran dan lain sebagainya. Bahkan disudutnya ada kios yang menjual peralatan medis dan obat-obatan. Aku memperhatikan semua fenomena yang terjadi itu dari teras gedung rumah sakit yang menghadap langsung ke jalan. Cukup lama aku mengamati semua itu, lalu aku kembali ke paviliun tempat Shaila dirawat. Di sana hanya ada Syula yang sedang asyik membaca buku dikursi disudut ruangan.
Pak de pulang sebentar untuk beristirahat dan mengambil keperluan lainnya sementara itu bu de sedang ke apotik menebus obat. Syula tak menyapaku saat aku masuk dan duduk disamping ranjang, dia pura-pura tidak tahu kedatanganku disana. Pukul delapan malam pak de tiba di rumah sakit, ia menyuruh kami pulang karena besok kami akan menghadapi ujian akhir semester kedua. Kami berpamitan dan segera pulang, namun Syula tidak pulang kerumah melainkan menginap dirumah temannya, dia hanya pulang sebentar untuk mengambil pakaian seragam dan beberapa buku. Aku hanya bisa menarik nafas panjang melihat ulahnya itu, bahkan ia mengancamku untuk tidak mengadukan hal itu kepada pak de dan bu de.
Ujian semester diadakan selama satu minggu dan ini adalah hari terakhir. Setelah itu biasanya akan diadakan classmeeting yang akan diisi dengan perlombaan antar kelas, setiap kelas harus mengirimkan perwakilannya untuk mengikuti perlombaan-perlombaan yang akan diadakan pada hari Senin nanti. Bagi siswa yang nilainya tidak begitu bagus diharuskan untuk mengikuti ujian perbaikan, yang tidak mengikuti ujian perbaikan dapat mengikuti perlombaan itu ataupun sekedar jadi pengembira saja. Nilaiku cukup memuaskan jadi aku tidak harus ikut ujian perbaikan, namun aku juga tidak ikut dalam classmeeting.
Hari ini sepulang sekolah aku dan Syula bergegas kerumah sakit dan inilah kali pertamanya kami pulang sekolah bersama-sama. Kami berdua dan Bu De Marni berada didalam ruangan perawatan. Tak banyak yang kami bicarakan untuk membunuh kesunyian yang ada. Hanya beberapa kata pemanis suasana yang keluar dari bibir kami. Hal itu berlangsung cukup lama sampai tiba-tiba saja Pak Udin datang dengan tergesa-gesa dan peluh di tubuhnya. Dikepalanya ada luka yang terbalut perban, bajunya kotor dan penuh dengan noda darah. Kami sangat terkejut melihat kedatangannya itu dan kami lebih terkejut lagi saat ia mengatakan bahwa saat ini Pak De Yasin berasa diruang ICU karena mengalami kecelakaan. Pak Udin tidak mengalami luka yang parah, namun pak de terjatuh dari motor dan tertabrak angkot yang melintas dibelakangnya mengalami luka dikepala yang cukup parah. Kami bergegas mencari tahu keadaan pak de namun kami tak menemukannya di ruang ICU. Nyawa pak de tidak tertolong lagi, ia hanya mampu bertahan dua puluh menit sejak dibawa kerumah sakit.
Suasana di rumah sangat ramai dengan para pelayat yang ingin mengucapkan ucapan belasungkawa dan penghormatan terakhir kepada pak de. Setelah pemakaman selesai, aku langsung kerumah sakit sedangkan Syula dan bu de mengurus keperluan takziah di rumah. Disana sudah ada Pak Udin yang sejak tragedi kemarin berada dirumah sakit menggantikan kami yang sibuk mengurus pemulangan jenazah dan pemakaman. Aku menyuruhnya pulang dan beristirahat. Barulah pada pukul sepuluh malam Bu De Marni, Syula dan Pak Udin datang bersama-sama. Sementara itu, kondisi Shaila semakin kritis, tadi pagi dokter mengatakan bahwa harapan hidupnya tipis dan jika dalam tiga atau empat hari kedepan ia tidak menunjukan reaksi yang lebih baik maka kami semua harus pasrah terhadap kemungkinan yang terburuk yang akan terjadi.
Sejak malam sebelumnya mulut dan hidungnya selalu mengeluarkan darah segar, matanya terlihat cekung agak membiru. Terjadi infeksi kronis pada katup jantungnya sehingga bilik kanan jatungnya sedikit membengkak. Kondisinya diperburuk dengan sebelah ginjal yang dimilikinya. Beberapa bulan sebelumnya ginjal sebelah kirinya harus diambil, terjadi disfungsi ginjal dan pembengkakan pada ginjalnya. Sampai saat ini kami belum menemukan donor yang tepat untuk Shaila. Semua orang pada saat itu berkumpul dirumah sakit, mereka tak mau meninggalkan Shaila sedetik pun. Bahkan hari-hari berikutnya kami semua menginap di rumah sakit. Semua menunggu Shaila yang sedang terbaring koma dengan perasaan yang tidak menentu.
Batas akhir yang dikatakan dokter sudah lewat namun Shaila tidak juga sadar dari komanya. Kami semua tak tahu harus berbuat apalagi selain berdo’a untuk kesembuhannya. Tapi rupanya Tuhan berkehendak lain. Pukul tiga dini hari tadi Shaila kembali kritis, detak jantungnya sempat tak terbaca dimonitor untuk beberapa saat. Namun kembali normal setelah dokter menggunakan alat pacu jantung. Tekanan darahnya semakin menurun, tubuhnya terasa semakin dingin dan darah segar masih mengalir dari hidung dan mulutnya. Dokter berusaha sekuat tenaga untuk mengembalikan kondisinya semula. Satu jam lebih dokter berada dalam ruangan itu, tak seorangpun dari kami diizinkan untuk masuk dan melihat keadaannya. Bu de dan Syula menangis sambil berpelukan. Aku hanya bisa berdiri disebelah Pak Udin dengan perasaan gelisah. Tak lama dokter keluar, dia hanya diam dan tertunduk. Ia mengelengkan kepalanya saat Bu De Marni menatapnya.
“Maafkan saya, Bu. Saya sudah berupaya semaksimal mungkin, namun apa daya rupanya Tuhan punya rencana lain”
“Maksud dokter?”
“Putri ibu tidak tertolong, dia meninggal dunia”
Sontak saja bu de histeris dan tak sadarkan diri. Aku dan Pak Udin mendudukannya dikursi. Syula langsung berlari kedalam dan menangis sejadi-jadinya sambil mengguncang-guncang tubuh saudara kembarnya itu. Lalu aku menyusulnya.
“Innalillahi wa innailaihi rojiun”, ucapku lirih saat tiba didalam.
Rasanya aku tak kuasa lagi untuk berdiri dan airmataku pun mengalir dengan derasnya. Belum kering tanah kuburan pak de, kini kami pun harus menerima kenyataaan bahwa Shaila juga harus pergi meninggalkan kami untuk selama-lamanya. Dia pergi dengan seutas senyum damai dibibirnya tepat dihari ketiga kematian pak de. Tak seorang pun mengira akan begini jadinya, begitu pula aku. Kedua orang yang amat aku sayangi telah pergi untuk selama-lamanya. Tak ada lagi yang akan menghiburku disaat aku sedih dan tak akan ada lagi yang akan memberikan aku semanggat untuk terus berjuang dalam kerasnya kehidupan ini.
****
BAB II
Tiga minggu telah berlalu sejak kematian Shaila dan Pak De Yasin. Suasana dirumah menjadi sangat sepi. Dan sudah dua minggu waktu berlalu sejak libur awal semester dimulai. Liburan kali ini adalah liburan sekolah yang paling membosankan, seperti yang sudah aku duga sebelumnya, aku tidak diperbolehkan pergi kemana-mana. Tak seperti Syula yang berlibur ke rumah eyang di Jogja. Waktu meninggalnya pak de dan Shaila, eyang tidak datang karena ia tak mampu bepergian jauh lagi. Maklum saja usianya kini sudah delapan puluh tiga tahun. Disana ia ditemani oleh seorang anak angkatnya yang setia mengurus segala keperluan eyang. Sebenarnya aku ingin sekali bertemu eyang, tapi bu de tidak mengizinkan aku pergi kemana-mana, padahal libur sekolah cukup panjang.
Tiga hari lagi Syula akan tiba di Lampung. Aku tidak sabar ingin bertemu dengannya dan mendengar cerita-ceritanya selama liburan dirumah eyang. Untuk mengisi waktu luang dirumah setelah menyelesaikan semua pekerjaan rumah tangga, biasanya aku menyibukkan diriku dengan membaca buku yang kupinjam dari perpustakaan daerah. Cukup seru. Selama liburan ini beberapa kali aku bolak-balik ke perpustakaan daerah untuk meminjam buku. Tidak hanya itu, Mang Jon juga meminjamkan aku sebuah buku tua yang sangat menarik karya proklamator Indonesia, Bapak Soekarno, yang berjudul Di Bawah Bendera Revolusi. Buku langka yang sangat menarik untuk dibaca terutama bagi seorang yang buta akan budaya dan sejarah bangsa Indonesia seperti aku ini. Dari perpustakaan daerah aku meminjam buku-buku sejarah dan budaya Indonesia. Dari buku-buku itulah aku mengetahui adat istiadat dan budaya tiap-tiap daerah yang ada di tanah melati ini. Tempat-tempat bersejarahnya, suku bangsanya, juga tentang akulturasi budaya lokal dan budaya yang datang dari negara lain.
Selain itu aku juga meminjam beberapa novel karya novelis terkenal Indonesia, diantaranya buku karangan Montinggo Busye, Marah Rusli, N.H. Dini dan lain sebagainya. Aku memang hobi sekali membaca. Dan siang ini pun aku asyik dengan bacaanku. Kali ini aku sedang berkonsentrasi dengan novel Siti Nurbaya yang melegenda itu ditemani dengan segelas es teh dan biskuit cokelat.. Sungguh kisah cinta yang sangat dramatis dan mengharukan. Karya yang luar biasa yang tak kalah dengan Akutagawa Ryunosuke, cerpenis terbaik Jepang yang menjadi favoritku.
Tak terasa sudah tiga jam lebih aku khusuk dengan buku bacaanku. Aku lupa untuk menyiapkan makan malam dan mengisi bak mandi. Aku tahu pasti konsekwensi yang akan aku dapatkan nantinya. Dan benar saja, saat bu de pulang dari kantornya pada sore hari, ia marah besar. Aku tidak akan mendapatkan jatah makan malamku hari ini dan terpaksa aku tidur dengan perut kosong. Untungnya aku tadi sempat makan beberapa potong biskuit cokelat. Biarlah malam ini aku lalui dengan sedikit rasa lelah dan lapar.
Matahari pagi sudah terbit sejak tadi dan berada tepat diatas kepala. Hari ini Syula kembali dari Jogja. Ia datang pukul tiga lima belas menit sore. Dia membawa banyak oleh-oleh berupa makanan, baju-baju, souvenir khas Jogja dan lainnya. Dua buah tas besarnya penuh dengan oleh-oleh. Dan tampaknya tak satu pun yang ditujukan untukku. Malam harinya ia sibuk bercerita tentang perjalanannya selama berlibur dirumah eyang, tentang acara jalan-jalannya di alun-alun, pasar Malioboro, sentra kerajinan perak di Kota Gede juga sewaktu ia pergi ke Candi Borobudur. Tidak hanya itu, pada saat pulang ia dan dua orang temannya mampir ke Bandung dan melihat kebun raya Bogor. Syula memang tak pergi sendiri, ia pergi bersama dua orang temannya, Kak Ramzi yang merupakan keponakan Bu De Marni dan supir pribadi kami. Aku hanya menjadi pendengar setia semua cerita-ceritanya. Dia hanya memberiku sebuah pin kecil lambang kota Jogjakarta yang berwarna keemasan. Yah….lumayanlah dari pada tidak sama sekali.
***
Tak terasa libur telah berakhir.Hari pertama sekolah pun datang. Disemester kedua ini aku dan Syula berada didalam kelas yang sama karena setiap kenaikan kelas akan diadakan rolling, jadi setiap anak akan berbaur dengan anak-anak dari kelas yang lainnya. Untungnya aku tidak sebangku dengannya. Aku duduk dideret paling depan, tepat didepan meja guru, sedangkan Syula duduk dibangku paling belakang sebelah kiri. Hari-hari yang kulalui berjalan seperti biasanya, bangun pagi aku harus memasak, mengisi bak mandi, dan menyapu terlebih dahulu baru aku bisa mandi dan bersiap kesekolah. Siangnya pun tak jauh beda. Aku sudah terbiasa tidur pukul sepuluh malam dan bangun pukul empat pagi, jika tidak semua pekerjaan tidak akan selesai dan aku pasti akan mendapat hukuman dari bu de. Tidak hanya itu disekolah pun aku dikucilkan dan dijauhi oleh Syula dan teman-temanya, mereka sering menjahiliku dan juga mereka sering mengejekku bahkan aku acapkali disuruh mengerjakan pekerjaan rumah dan tugas-tugas mereka. Aku berusaha tabah menghadapi semua ini, aku tak membantah sepatah kata pun terhadap perintah yang diberikan kepadaku. Aku sadar betul posisiku dirumah ini.
Walaupun hinaan dan cacian sering aku terima dari bu de dan Syula, namun aku tetap sabar menghadapinya. Sampai suatu hari sepulang sekolah Bu De Marni dan Syula sudah menungguku dengan wajah menakutkan. Aku memang pulang agak terlambat karena aku ada pelajaran tambahan siangnya. Mereka memaki ku habis-habisan, mereka menuduh aku mencuri uang kas kantor yang dipegang Bu De Marni. Tentu saja aku tidak terima dengan perlakuan mereka, aku berontak. Mereka memaksa mengeledah isi kamarku. Tapi entah dari mana datangnya, uang yang dinyatakan hilang itu ada secara tiba-tiba dibawah lemari pakaianku. Bukan main terkejutnya aku. Bagaimana uang itu bisa ada dengan sendirinya dalam lemari pakaianku itu. Kemarahan Bu De Marni memuncak, ia mengusirku dari rumah. Mereka menganggap bahwa aku adalah anak pembawa sial dalam keluarga.
Aku pergi dari rumah itu hanya dengan membawa sebuah tas kecil berisi beberapa lembar pakaian, foto ayah dan ibu, dan uang dua ribu rupiah. Sementara itu celengan dan buku tabunganku dirampas Syula. Aku tak tahu harus pergi kemana lagi. Sambil menangis aku terus berjalan tak tentu arah. Langkah kakiku membawaku ke pusat pertokoan di Bambu Kuning Plaza. Hari sudah senja, azan magrib pun berkumandang. Perutku lapar sekali, sejak pagi aku hanya makan sepotong singkong rebus.
Malam ini aku tertidur dengan berselimutkan selembar koran bekas diemperan toko. Aku terbangun pukul lima pagi. Tubuhku dingin sekali dan perutku terasa sangat perih. Aku berjalan lagi kearah pertokoan di Pasar Pasir Gintung, didepan sebuah toko bahan bangunan aku menemukan sebungkus nasi dan roti sisa yang dibuang. Aku mengambil bungkusan nasi itu, baunya sangat menusuk hidung dan nasinya sudah berlendir. Ku urungkan niatku untuk memakannya. Lalu aku mengambil potongan roti tadi, masih bisa dimakan walaupun agak sedikit kotor. Tanpa pikir panjang lagi, langsung saja kumakan roti itu, lumayan untuk sekedar menganjal perut kecilku.
Hari pun mulai menggeliat dari tidurnya dan toko-toko mulai buka satu per satu. Panas matahari mulai menyengat tubuhku. Aku berteduh dibawah atap pos keamanan sambil mengamati keadaan disekitarku. Diujung jalan aku melihat ada dua orang anak yang sedang mengamen dari toko satu ke toko yang lain, disudut jalan yang lain aku juga melihat ada seorang nenek tua yang mengisut diemperan toko sambil memegangi kaleng kecil, aku bangkit dari dudukku dan kembali berjalan.
Setelah lama menelusuri jalanan akhirnya langkahku pun terhenti didepan sebuah rumah yang cukup besar namun penampilannya sangat sederhana, cat temboknya yang berwarna biru terlihat sangat lusuh, mirip dengan bangunan rumah tempo dulu. Letaknya sangat tersembunyi disebelah puing bangunan penjara tua yang hanya dipisahkan oleh sebuah gang berukuran satu setengah meter. Pada sebuah papan kecil didepan rumah itu tertulis “Rumah Singgah Al Akhyar”. Dihalamannya ada beberapa anak yang berpakaian lusuh sedang asyik bermain. Cukup lama aku termanggu didepan rumah itu. Dari dalam rumah keluarlah seorang wanita berkerudung menghampiriku. Dia membawaku masuk kedalam.
Disana aku mendapat sepiring nasi lengkap dengan lauknya dan segelas air minum. Tanpa banyak basa-basi lagi kuhabiskan semua makanan yang diberikan wanita itu padaku. Selama beberapa jam aku berteduh dari teriknya matahari dirumah itu. Dari cerita yang kudengar dari wanita berkerudung itu, aku jadi mengetahui banyak hal baru yang selama ini tak pernah aku dengar. Wanita itu bercerita tentang latar belakang didirikannya rumah singgah itu. Dirumah singgah itu, anak-anak jalanan yang ada diseputaran kota Bandar Lampung khususnya daerah Tanjung Karang Pusat diperbolehkan datang kesana. Mereka tak hanya mendapat sekedar makan dan minum tetapi juga mereka dibina dan diajarkan beberapa keterampilan sebagai bekal hidup mereka.
Anak-anak yang datang rata-rata berusia antara 6 sampai 15 tahun. Mereka juga diajarkan membaca, menulis dan pengetahuan umum lainya. Sedangkan para pengelola dan pengajarnya merupakan sukarelawan yang setiap hari bekerja tanpa gaji dan jam kerja yang tetap. Mereka juga mati-matian mencari sumber dana untuk memajukan usaha sosial mereka, namun hasil yang didapat belumlah optimal sehingga mereka acap kali mengalami kesulitan untuk membiayai operasional rumah singgah yang mereka kelola.
Selepas zuhur aku berpamitan kepada wanita berkerudung tadi. Wanita itu memintaku untuk tinggal saja disana, tapi aku menolaknya. Aku tak tahu kemana lagi langkahku yang akan membawaku. Suasana pasar Bambu Kuning sangat ramai, angkot pun banyak yang berlalu lalang dan mencari penumpang dipinggiran jalan sepanjang pasar sehingga menyebabkan kemacetan yang cukup panjang. Aku memperhatikan fenomena yang terjadi disepanjang perjalananku dengan seksama, ada beberapa pedagang yang menjual dagangannya diemperan toko sehingga para pejalan kaki sulit melaluinya, pedagang buah disudut jalanan, pengamen dan pengemis, serta ada juga beberapa pemuda tanggung yang sibuk meminta “uang keamanan” kepada para pedagang dan supir-supir angkot. Lalu aku kembali berjalan menyusuri pingiran pertokoan yang sudah ramai dengan para pembelinya, langkahku sekarang menyusuri pinggiran jalan-jalan di Pasar Tengah, lalu aku terus melangkahkan kakiku menuju terminal Ramayana melewati jembatan penyebrangan yang diatasnya banyak sekali pengemis yang berjejer disepanjang jembatan penyebrangan itu. tak lama aku pun samapai dideretan penjual makanan didepan terminal Ramayana, tepat berjajar disepanjang jalan diujung jembatan penyebrangan tadi.
Banyak hal yang aku dapati disana, dibawah teriknya matahari siang ini. Disudut bawah tangga jalan aku melihat sekumpulan pengemis dan anak-anak jalanan yang berlomba-lomba meminta sedekah kepada para pejalan kaki yang melewatinya. Tapi disudut lainnya aku menemukan sekelompok preman yang ternyata mengorganisir anak-anak jalanan untuk menghasilkan uang bagi mereka, ada juga sekelompok ibu-ibu mengendong balitanya yang berkumpul disudut tak terlihat dibawah terminal.
Mereka sibuk menghitung uang hasil pendapatan anak-anak mereka yang kalau aku perhatikan masih berusia antara 5-12 tahuan. Usia yang sangat belia untuk anak seumurnya yang sudah harus mencari nafkah dengan meminta belas kasihan dari orang lain. Aku berfikir betapa teganya orang tua mereka mengeksploitasi anak-anaknya ataukah memang sudah tidak ada pilihan yang lain yang lebih baik yang dapat mereka lakukan untuk memenuhi kebutuhan hidup yang semakin lama semakin tak terjangkau. Sungguh pemandangan yang sangat mengenaskan yang baru pertama kali aku lihat sejak aku menginjakkan kaki ku ke tanah Lampung ini. Beginikah nasib tanah melati yang dahulu sempat mewanggi sampai keujung dunia itu?. Sungguh ironis sekali. Selama di Jepang aku tak pernah menemui hal semacam ini. Selama berada dirumah Pak De Yasin segalanya ada, fasilitas lengkap, lagi pula aku jarang sekali keluar rumah. Bahan makanan di stok untuk sebualan, dan itu juga Bu De Marni yang berbelanja ke supermarket. Jadi aku tak pernah tahu keadaan sekelilingku.
Dari kejauhan aku melihat Mang Jon turun dari bus DAMRI. Aku segera menghampirinya. Tampaknya Mang Jon juga melihatku, ia berjalan kearahku. Aku berhenti didepan kios koran dekat bus DAMRI biasanya mangkal.
“Neng Rei sedang apa disini?”
“Cuma jalan-jalan aja, Mang?”, jawabku singkat.
“Jalan-jalan? Kok tidak sekolah? Bukannya libur sekolah sudah selesai?”. Aku diam saja tak menjawab pertanyaan Mang Jon. Cukup lama aku terdiam sampai akhirnya aku memberanikan diri untuk bercerita tentang semua yang aku alami. Mang Jon sangat terkejut mendengar kematian pak de dan Shaila, bahkan ia makin terkejut ketika aku mengatakan bahwa aku tidak tinggal lagi dirumah Bu De Marni dan sekarang aku terluntang-lantung dijalanan.
“Tega sekali bu de mu itu. Kok seperti bukan manusia saja. Tidak punya perasaan sekali. Sekarang apa rencana Neng Rei?”
“Aku tidak tahu, Mang. Tapi aku ingin sekali pergi jauh dari kota ini. Aku ingin menjauh dari bayang-bayang masa lalu yang pernah aku lalui dikota ini”
“Neng mau pergi kemana?. Waduh, susah tuh Neng kalau kita mau pergi tidak punya tujuan yang jelas”
“Gak tahu lah, Mang. Pokoknya aku mau pergi. Aku tak mau berada dikota ini. Terlalu menyakitkan bagiku. Aku ingin sekali pulang ke Jepang, tapi aku tak punya uang sepeserpun. Untuk membeli segelas air mineral saja aku tak sanggup, apalagi untuk membayar ongkos pesawat”
Mang Jon tidak mengomentari ucapanku. Dia terbatuk-batuk. Nafasnya sesak dan dari mulutnya keluar darah segar. Mang Jon tak mengindahkan tawaranku untuk membawanya ke puskesmas. Ia bersikeras menolaknya. Akhirnya aku pun menyerah. Setelah agak lama barulah nafasnya agak teratur, ku beri segelas air putih yang kuminta dari penjual bakso didekat sana. Setelah menghabiskan minumannya, Mang Jon mengajakku menuju suatu tempat. Kami menumpang bus berwarna jingga, dari kaca bus itu aku membaca tulisan “Rajabasa-Bakauheni”. Mungkin itu adalah tempat kemana bus itu akan menuju. Aku sama sekali tak tahu tempat apa itu. Namanya begitu asing bagiku.
Sepanjang perjalanan aku memperhatikan sekelilingku dari balik jendela. Kami melewati sebuah jalan yang cukup ramai dengan bus-bus besar dan truk-truk. Di kiri kanannya banyak pabrik yang kami lewati, aroma yang tercium sangat menusuk hidung. Tak lama kemudian kami melewati jalan yang berkelok-kelok dan menanjak. Dikanan kirinya ada tebing yang tinggi, ada juga beberapa rumah yang letaknya agak berjauhan. Mang Jon tertidur dibangku disebelahku. Ia tampak sangat kelelahan jadi aku membiarkannya saja. Beberapa jam kemudian kami memasuki pelabuhan. Aku bangunkan Mang Jon. Begitu turun dari bus aku bertanya kepadanya namun ia tak menjawabnya. Kami duduk di sebuah kantin, Mang Jon membeli sebungkus nasi, sebotol besar air mineral dan beberapa makanan ringan lainya.
“Ini untukmu. Lumayan buat bekal dijalan. Mang Jon Cuma bisa kasih ini”
“Kita mau pergi kemana?”
“Bukan kita. Tapi Neng Rei saja yang pergi. Mang Jon punya seorang kenalan di Jakarta. Ini alamatnya. Dulu ia pernah tinggal disini namun beberapa tahun kemudian dia pindah dan membuka usaha di Jakarta. Terakhir kali Mang Jon bertemu dengannya saat ia berkunjung ke Lampung dua tahun yang lalu. Mudah-mudahan saja dia bisa membantu Neng Rei. Berikan saja surat Mang Jon kepadanya”, Mang Jon memberikan secarik kertas alamat dan sepucuk surat yang terbungkus amplop putih. Juga beberapa lembar uang sepuluh ribuan.
“Tapi bagaimana dengan Mang Jon sendiri?. Mang Jon kan sedang sakit. Sebaiknya aku tidak usah pergi saja, uang ini lebih baik digunakan untuk berobat”
“Jangan. Mang Jon tidak apa-apa. Jangan dipikirkan. Neng hati-hati saja dijalan, jaga diri baik-baik. Mang Jon do’akan supaya Neng Rei bahagia dan sehat selalu”
Aku menanggis, begitu juga Mang Jon. Kami saling berpelukan. Lalu ia menitipkan aku kepada supir mobil pengangkut barang kenalannya. Lalu mobil itu pun memasuki kapal yang akan membawa kami menyebrang ke pulau Jawa. Perasaanku saat ini sangat tidak menentu. Aku takut sekali, entah apa yang akan menghadang langkahku didepan nantinya. Perasaan yang sama seperti yang pernah aku rasakan sewaktu aku akan berangkat ke Indonesia pertama kalinya dua tahun yang lalu. Aku sama sekali tidak pernah tahu tentang Jakarta yang disebut-sebut orang Indonesia sebagai kota metropolis dan juga kota kapitalis yang megah. Bagaimana orang-orangnya, bagaimana pola hidup mereka, aku sama sekali tak tahu. Aku hanya bisa berdo’a mudah-mudahan aku ditunjukan jalan oleh-Nya. Aku pun tak sempat berpamitan dengan sahabatku Arin sebelum aku pergi. Sayoonara atashi no dai sukii na hito10).
****
10) Selamat tinggal orang-orang yang paling aku sayangi.
Sudah sepuluh hari aku berada di ibukota dan sampai saat ini masih terluntang-lantung dijalanan. Alamat yang diberikan oleh Mang Jon tempo hari sudah aku datangi, namun orang yang dimaksud sudah meninggal dunia empat bulan yang lalu. Sedangkan rumah itu sekarang sudah ditempati oleh orang lain. Ah…rasanya sia-sia aku pergi sejauh ini. Aku tak punya tujuan yang pasti. Tak seorang pun yang aku kenal di negara ini. Rasanya ingin aku pergi ketempat eyang di Jogjakarta, namun aku tak tahu Jogjakarta itu ada dimana, seberapa jauhnya dari sini pun aku tak tahu. Kembali ke Jepang pun tinggal mimpi belaka. Itu adalah suatu hal yang mustahil dapat aku raih dengan uang sepuluh ribu rupiah yang tersisa.
Aku hanya bisa pasrah dengan keadaanku ini. Untuk menyambung hidup aku bekerja membantu orang-orang membawakan barang belanjaannya di mall-mall. Hasilnya cukup lumayan untuk makanku sehari. Malamnya aku tidur seadanya dimana saja, emperan toko, taman kota ataupun ditrotoar jalan. Aku tidak mengeluh, aku cukup bahagia jika hari ini aku sudah dapat makan dan tempat berteduh. Aku cukup menikmati kehidupanku sekarang. Aku menganggap bahwa yang terjadi pad diriku ini adalah sebuah petualangan hidup yang luar biasa. Walaupun terkadang keasyikanku bekerja terganggu oleh penertiban yang dilakukan oleh aparat. Aku tidak menyalahkan mereka karena itu sudah jadi tugas mereka untuk menertibkan tata kota dari orang-orang urban seperti diriku ini. Jika aparat datang, kami semua berlari menyelamatkan diri kedalam toko ataupun menghilang dalam keramaian pasar.
Mulanya aku kaget melihat hal seperti itu, lama kelamaan aku pun mulai terbiasa dengan kehidupan seperti ini. Setiap hari harus bangun lebih awal dari ayam jago, makan dan tidur pun seadanya. Hal seperti ini berlangsung selama beberapa tahun dan tahun ini adalah tahun ke empat aku berjuang di kerasnya ibukota. Seharusnya aku sudah menikmati masa remajaku di bangku SMU, namun apa daya takdirku berkata lain. Bulan depan adalah bulan Mei, sebentar lagi aku akan berulang tahun yang ke tujuh belas. Sebuah masa yang menurut kebanyakkan orang adalah masa yang teristimewa dalam kehidupan seseorang dan biasanya mereka sering menyebutnya “Sweet Seventeen”. Tampaknya hal itu tak akan berlaku terhadapku. Aku sudah pasrah menjalani takdirku ini. Toh saat ini aku punya teman-teman baru yang aku kenal di Jakarta. Mereka adalah anak-anak yang hidup dan dibesarkan oleh jalanan ibukota. Kami adalah orang-orang yang memiliki ikatan nasib yang sama. Terkadang aku dan beberapa teman lainya berkumpul untuk sekedar berbagi rasa ataupun sekedar beristirahat dari kepenatan hari.
Hari ini pun lima orang teman lainya sedang berkumpul dipelataran parkir sebuah mall. Hal ini biasa kami lakukan pada siang hari pada saat semuanya beristirahat siang. Aku segera menyusul mereka selepas shalat zuhur di musalla yang terdapat dilantai tiga. Setelah makan siang bersama seadanya, kami saling berbagi cerita dan bernyanyi untuk menghilangkan duka yang ada. Sebuah lagu ceria beraliran ska yang membuat semangat kembali bergelora. Sedang asyiknya kami bernyanyi tiba-tiba datanglah beberapa orang berseragam coklat menghampiri kami, tak urung semua yang ada disana lari tunggang langgang, tak terkecuali aku. Namun ransel kecil yang selalu aku bawa kemana-mana tersangkut dan isinya bertaburan keluar sehingga dengan mudahnya mereka menangkap dan membawaku kedalam mobil petugas. Kami yang tertangkap dibawa kekantor dinas sosial untuk didata. Seperti yang telah aku duga sebelumnya mereka akhirnya membawaku kekantor imigrasi setelah tahu bahwa aku bukanlah warga negara Indonesia. Memang status kewarganegaraanku masih sebagai warga negara Jepang. Dulu pak de sempat mengurus kewarganegaraan ku agar aku bisa menjadi WNI, namun belum sempat semuanya selesai pak de keburu dipanggil oleh yang maha kuasa. Selama lima hari aku menunggu penyelesaian keimigrasian, aku dan beberapa gelandangan lainnya ditampung dan diberi pembinaan di kantor dinas sosial Jakarta.
Hari ini aku mendapat kabar bahwa lusa aku akan dideportasi ke Jepang dengan tuduhan penyalahgunaan izin tinggal. Yah…akhirnya aku bisa pulang juga ke Jepang. Namun ada keraguan yang terlintas dibenakku. Apakah aku masih dapat bertemu dengan kakek dan nenek lagi?. Bagaimana keadaan mereka saat ini? Ataukah mereka masih mau menampungku?. Entahlah. Sudah lama aku tak mendengar kabar dari mereka. Surat balasan terakhir yang dulu aku terima dari mereka tak sempat aku baca karena dirampas dan dibakar oleh Syula. Padahal itu adalah kabar pertama yang aku terima dari kakek dan nenek setelah sekian lamanya aku di Indonesia.
Hari yang ditunggu-tunggu akhirnya datang juga. Hari dimana aku akan pergi meninggalkan bumi Indonesia. Pesawat yang akan membawaku sudah tinggal landas sejak sepuluh menit yang lalu. Dari atas pesawat aku melihat negeri yang memberikan banyak kenangan padaku ini semakin kecil dan kecil, hingga akhirnya hilang dibalik awan. Aku merasakan pesawat ini terbang dengan begitu lambatnya, tak sabar rasaanya aku ingin segera bertemu dengan kakek dan nenek, juga temanku Takeshi. Bagaimana ya keadaan dia sekarang? Semoga saja ia masih ingat padaku. Hayalanku berputar-putar kian kemari tak tentu arah sampai akhirnya aku tertidur dibangkuku. Dan aku baru terjaga ketika seorang pramugari membangunkan aku saat pesawat mendarat di bandara. Dengan perasaan gugup kutapakkan langkah pertamaku dibumi sakura. Ini adalah langkah pertamaku setelah tujuh tahun meninggalkan negeri ini.
Sesampainya di Tokyo aku langsung menuju rumah kakek dan nenek, tapi aku tak mendapati seorangpun disana. Berkali-kali aku memanggil tapi tak seorang pun keluar dari dalam rumah. Tampaknya rumah itu sudah lama tak dihuni lagi, sudah banyak debu yang menempel dikaca dan lantai rumah. Halamannya pun sangat tidak terawat. Bunga-bunga yang dulu ditanam nenek sudah banyak yang mati. Aku menanyakan keberadaan kakek dan nenek kerumah tetangga. Rumah itu sudah kosong sejak satu setengah tahun yang lalu. Menurut mereka kakek dan nenek pindah ke Hokaido. Kami memang memiliki sebuah rumah kecil disana. Rumah yang sangat sederhana tempat aku dilahirkan hampir tujuh belas tahun yang lalu. Hokkaido cukup jauh jaraknya dari Tokyo. Aku hanya memiliki beberapa puluh yen saja. Tidak cukup untuk pergi Hokkaido. Lagi pula aku lapar sekali, dari pagi aku hanya makan setengah porsi nasi uduk yang kebeli dibandara Soekarno-Hatta tadi. Aku harus mencari akal agar aku bisa segera sampai Hokkaido. Tiba-tiba saja aku teringat dengan Takeshi. Lalu aku meneleponnya dari telepon umum yang tak jauh dari rumah. Untung aku masih ingat nomor rumahnya. Setengah jam kemudian Takeshi datang.
“Sumimasen. Anata wa Yoshikawa Raina san desu ka”11), tanyanya saat melihatku berjongkok didepan telepon umum. Aku kaget sekali ketika bertemu dengannya lagi. Ternyata Takeshi sudah tumbuh menjadi seorang anak laki-laki yang tampan dan kini dia lebih tinggi dariku.
“Hai. Atashi desu. Ano, anata wa Hakamada Takeshi san desu ka?”12
“Hai. Atashi desu. Raina san, mata aete, ureshikatta yo. Moo nan nen mo awanakatta. Aitakatte desu. Doo shiteta?”13)
“Genki desu. Takeshi san mo. Ureshi desu”14)
“Indoneshia kara kimashita. Tsukaremashitaka?”15)
“Maamaa desu”16)
Takeshi mengajakku kerumahnya untuk beristirahat sejenak, tapi aku menolaknya karena aku sudah tak sabar ingin cepat-cepat pergi ke Hokkaido menemui kakek dan nenek. Aku meminjam beberapa yen dari Takeshi untuk ongkos pergi ke Hokkaido. Senang rasanya Takeshi masih mengingatku dan mau membantuku. Ternyata dia tidak berubah sedikit pun. Dia masih seperti Takeshi yang kukenal tujuh belas tahun yang lalu. Sejak pertama kali bertemu dengannya di Osaka dulu, Takeshi selalu siap membantu ku dalam segala hal, dia sering memberiku semanggat dan dukungan ketika hatiku sedang sedih. Dia adalah salah satu teman yang terbaik yang pernah aku miliki. Dia sudah seperti saudara bagiku.
Sesampainya di Hokkaido aku bertemu dengan kakek dan nenek. Kakek masih tetap keras seperti dulu, walaupun begitu ia mau menerimaku berkat permohonan dari nenek yang saat ini sedang sakit parah. Dia hanya bisa terbaring lemah ditempat tidurnya. Wajahnya yang keriput terlihat pucat sekali. Nenek menangis saat bertemu denganku lagi. Hipertensi dan penyakit gula yang dideritanya membuatnya terkena stroke dan selama aku tidak ada sudah tiga kali ia dirawat di rumah sakit pusat di Tokyo. Namun kali ini ia bersikukuh untuk tidak mau mendapat perawatan dari dokter. Seharian ia hanya tidur diatas tempat tidurnya.
***
11) Permisi. Apakah kamu adalah nona Yoshikawa Raina?
12) Benar. Apakah kamu Hakamada Takeshi?
13) Benar. Senang bertemu denganmu lagi Raina. Sudah bertahun-tahun tidak bertemu. Aku kangen sekali. Bagaimana kabarmu selama ini?
14) Kabarku baik. Takeshi juga kan?. Senangnya.
15) Kamu datang dari Indonesia. Apakah kamu lelah?
16) Sedikit
Sepuluh hari kemudian kesehatan nenek agak membaik. Dia sudah bisa duduk dengan sempurna. Untuk berjalan memang masih agak sulit, dia harus dibantu seseorang jika hendak ke kamar kecil ataupun duduk-duduk didepan rumah sambil memandang kebun bunganya. Nenek memang punya hobi berkebun, dia senang sekali merawat bermacam-macam bunga. Sungguh indah dipandang mata. Aku dan nenek banyak bercerita sepanjang kami berdua duduk diteras rumah. Tetapi aku tak menceritakan keadaan yang sebenarnya kepada nenek, aku takut dia shock dan akan memperparah kondisinya.
Aku hanya mengatakan kalau aku sedang liburan sekolah. Cukup lama kami berdua berbincang-bincang, hari hampir pukul sebelas siang. Aku mengajak nenek kedalam untuk beristirahat. Tak lama setelah nenek tertidur aku mendengar suara bel berbunyi. Aku segera menuju pintu untuk melihat siapa yang datang.
“Doozo ohairi kudasai, Takeshi kun”17), aku terkejut sekali melihat Takeshi ada didepan pintu.
Aku mempersilakannya masuk dan menyuruhnya duduk diruang tamu. Aku sama sekali tak menyangka kalau dia akan datang pada hari minggu begini. Suatu hal yang tidak biasa bagi anak kutu buku seperti dia.
“Doozo okake kudasai. Nomimono o totte agemashoo. Chotto matte kudasai”18)
Aku kembali kedalam menuju dapur. Kulihat didalam lemari es, kuambil beberapa kue yang ada, beberapa potong semangka dan dua gelas es jeruk. Lalu aku kembali keruang tamu dan mempersilakan Takeshi minum. Takeshi meminum habis es juruknya. Tampaknya ia sangat kehausan, lalu aku kedapur dan membawakannya seceret penuh es jeruk. Kami bercerita panjang lebar tentang segala hal, tiba-tiba saja ia membuka tas yang dibawanya dan memberikan seikat bunga dan kado kecil berpita merah muda.
“Otanjoobi omedetoo gozaimasu. Shiawase ni naroo to negate imasu”19)
“Doomo arigatoo gozaimashita”20)
“Mina de dekakemashoo. Ii tokoro shitteimasu yo”21)
“Ok”
Aku makin terkejut setelah ia mengajakku keluar. Ini kali pertamaku pergi berdua dengan seorang teman laki-laki. Dia mengajakku kesebuah restoran yang terlihat cukup mahal. Kami makan siang bersama dan semuanya Takeshi yang mentraktir. Aku jadi tidak enak terhadapnya, hutangku yang tempo hari saja belum bisa aku bayar, dia tak mau menerimanya. Dan sekarang dia malah mentraktirku direstoran yang mewah seperti ini.
Aku tak tahu harus bagaimana cara membalas semua kebaikkannya. Setelah makan siang bersama kami berkeliling sebentar menghabiskan waktu baru menjelang sore kami pulang. Dia pun mengantarkan aku sampai kedepan pintu. Sebelum Takeshi pulang aku sekali lagi mengucapkan rasa terima kasihku atas kebaikkannya selama ini terhadapku.
“Subete o arigatoo gozaimashita. Anata wa shinsetsu desu ne. kamisama ni onegaeshirare yoo to negate imasu”22)
“Ie, doo itashimashite. Jaa mata aimashoo”23)
Setelah Takeshi pulang, aku masuk kekamar dan duduk dipinggir kasur. Aku teringat dengan kado yang ia berikan tadi, dengan rasa penasaran aku buka sampul pembungkusnya. Didalamnya ada sebuah kalung perak yang dihiasi dengan liontin bertuliskan namaku. Cantik sekali. Kalung ini tentunya mahal harganya. Didalamnya juga ada sebuah kartu ucapan bergambar berwarna krem. Bunga mawar putih yang diberikan tadi aku letakkan pada sebuah pot kristal yang aku letakkan diatas meja riasku.
Lelah rasanya setelah berkeliling seharian. Kurebahkan tubuhku diatas kasur dan tak lama akhirnya mataku pun terpejam. Hari sudah menunjukkan pukul lima sore. Sebentar lagi matahari akan tenggelam. Setelah selesai kubereskan kamarku barulah aku menyiapkan makan malam untuk kami bertiga. Aku membawakan makan malam ke kamar nenek, sementara kakek jarang sekali kami berbincang-bincang, dia selalu menangapi dingin semua ucapanku. Aku tak tahu bagaimana lagi caranya untuk mengambil hati kakek. Jika aku mengajak bicara kakek, ia malah pergi ataupun tidak mengindahkanku.
***
17) Silakan masuk Takeshi.
18) Silakan duduk. Saya akan ambilkan minum. Tunggu sebentar
19) Selamat ulang tahun. Saya do’akan kamu selamat dan bahagia.
20) Terimakasih banyak
21) Kita keluar bareng yuk. Aku tahu tempat yang enak lho.
22) Terima kasih atas segala sesuatunya. Kamu baik sekali. Semoga Tuhan membalas segala kebaiakanmu
23) Terima kasih kembali. Sampai jumpa lagi.
Hal itu terus berlangsung sampai setengah bulan kemudian. Tapi aku tak putus asa, aku akan terus berusaha agar kakek mau memaafkan aku dan aku yakin aku akan berhasil. Dan itu bukanlah satu-satunya hal yang menjadi fikiranku. Aku tak mungkin terus-terusan membohongi kakek dan nenek. Lambat laun mereka pasti akan tahu alasan sebenarnya aku pulang ke Jepang. Yang mengetahui hal yang sebenarnya hanyalah Takeshi. Namun serapat apapun kita menyimpan rahasia, suatu saat nanti pasti akan terbuka juga. Dan akhirnya kakek mengetahui semuanya, dia sangat marah karena aku telah membohonginya. Ia melarangku untuk kembali ke Indonesia. Keinginan kakek begitu kuat untuk menentangku kembali ke Indonesia. Tapi entah kenapa hati ini masih saja kukuh untuk kembali menginjakkan kaki ke tanah melati yang sangat aku rindukan. Hal inilah yang acapkali membuat pertengkaran diantara kami. Begitu pula Takeshi, ia tidak setuju jika aku kembali ke Indonesia.
Hari ini Takeshi datang ke Hokkaido menemuiku, kebetulan sekolahnya sedang libur. Dia mengajakku keluar untuk berjalan-jalan. Kami pergi melihat bunga matahari yang sedang mekar di sunflower field. Cantik sekali. Jika berada disana kita akan melihat hamparan bunga matahari yang berwarna kuning keemasan dan seolah-olah membuat bumi ini seluruhnya ikut menjadi kuning. Hokkaido memang unik dan menarik. Hokkaido merupakan salah satu dari empat pulau utama Jepang. Hokkaido berada disebelah utara kepulauan Jepang dan merupakan pulau terbesar kedua dengan Sapporo sebagai ibukota dan kota utamanya.
Perkembangan disana dimulai sekitar waktu Restorasi Meiji tahun 1868 dengan penekanan pada sektor pertanian. Sapporo berawal dari sebuah desa kecil didataraan yang sangat besar. Pada saat musim dingin, disekitaran bulan Pebuari, biasanya diadakan snow festival di Sapporo dengan ratusan patung pahatan yang terbuat dari es yang menghiasi Odori Park Advanture. Perayaan ini menarik perhatian banyak orang, tidak hanya dari Jepang sendiri tetapi juga dari luar Jepang. Setiap tahun ada lebih dari 300 patung salju. Selain itu disini juga terdapat beberapa taman nasional yang sangat menarik untuk dikunjungi, diantaranya Shikotsu-Toya, Akan, Rishiri-Rebun-Sarobetsu dan Daisetsuzan yang menawarkan pemaandangan alam yang sangat mempesona, berbagai macan petualangan seru diantaranya arung jeram, sky diving, hang gliding dan lain sebagainya. Kota Sapporo yang indah berkembang dalam lingkungan alam yang kaya. Kami berdua sangat menikmati perjalanan kami berkeliling menghabiskan waktu senggang kami. Aku begitu menikmatinya karena sudah bertahun-tahun aku tak lagi menyaksikan indahnya pesona alam negeri sakura, terutama ditempat aku dilahirkan, Hokkaido.
Aku memutuskan untuk menunda dulu keberangkatanku ke Indonesia, selain karena aku harus mengumpulkan uang untuk ongkosnya, aku juga harus berkonsentrasi untuk memulihkan kesehatan nenek. Dua hari yang lalu ia kembali diopname karena tekanan darahnya yang meningkat drastis dan kondisinya makin lama makin memburuk. Untuk beberapa lama nenek harus bolak-balik masuk rumah sakit. Akhirnya pada awal musim gugur setahun sejak kepulanganku ke Jepang, nenek harus menyerah dengan penyakitnya itu, ia meninggal dunia tepat pukul sebelas siang.
Musim gugur kali ini adalah musim gugur terberat bagiku karena aku harus berjuang untuk hidupku sendiri. Sejak kematian nenek beberapa bulan yang lalu, aku memutuskan untuk tinggal seorang diri di Tokyo. Aku bekerja disebuah toko roti di pusat kota Tokyo. Sementara itu kakek tetap tinggal di Hokkaido bersama keponakan dan cucu angkatnya. Bibi Maekawa dan putra angkatnya, Osamu, yang baru duduk dikelas dua SMP. Kakek menolak untuk tinggal bersamaku di Tokyo. Dia lebih suka tinggal di Hokkaido yang merupakan tanah kelahirannya dan juga untuk menjaga warisan leluhurnya yang amat ia agung-agungkan itu. Kakek merupakan orang yang cukup kaya dan paling disegani disana, dia memiliki beberapa lahan perkebunan disana. Rumah bergaya Jepang klasik yang selama ini kami tempati juga merupakan kebanggan kakek yang ia wariskan dari nenek moyangnya terdahulu. Sebagian rumah Jepang dewasa ini dibanggun dalam gaya moderen yang terbuat dari baja, beton dan kayu. Tapi kakek tetap mempertahankan bentuk dan arsitektur rumah dengan gaya rumah tradisional yang unik.
Hari-hari yang kulalui di Tokyo begitu aku nikmati dengan ikhlas. Aku tidak merasa kesepian. Sekarang aku tinggal di toko roti itu sebagai pelayan dan pembuat roti. Aku cukup banyak mendapat teman disini, sesama pelayan toko. Pemilik toko tempat aku bekerja sangat baik, kami diberikan keleluasaan untuk libur jika toko sedang tidak banyak pengunjung, hanya saja harus ada beberapa orang yang piket meninggui toko, dan kadang-kadang pada akhir pekan atau saat hari libur sekolah datang, Takeshi sering mengajakku jalan-jalan untuk menghilangkan kebosanan dan kejenuhanku bekerja.
Hari minggu ini aku dan beberapa orang teman lainnya berencana pergi ke Laut Odaiba di seberang Teluk Tokyo. Jepang adalah negara kepulauan yang dikelilingi laut yang sangat luas, sampai tahun 1868, Tokyo dikenal sebagai Edo yang berarti “Pintu Gerbang menuju Teluk”. Kini Teluk Tokyo semakin didorong agar menciptakan lebih banyak tanah bagi perkembangan kota. Odaiba adalah tanah reklamasi yang telah berkembang menjadi pusat kota pinggir laut. Odaiba berarti “benteng meriam”. Odaiba saat ini dibentuk dengan cara menimbun teluk disekitar enam pulau. Selain itu kami juga berkunjung ke Tokyo Big Sight, karena di pusat pameran internasional Tokyo ini sedang diadakan pasar komik terbesar yang menarik perhatian seluruh dunia. Sore harinya kami menuju Distrik Kanda Jimbocho yang merupakan distrik toko buku bekas terbesar didunia. Kanda Jimbocho adalah pusat perdagangan Jepang untuk buku-buku tua dan bekas. Puas berkeliling-keliling melihat buku-buku tua, kami menuju jalan sempit antara Jalan Yusukuni dan Jalan Suzuran. Kami mampir disebuah warung kopi yang berarsitektur klasik dan unik dengan pencahayaannya yang temaram. Setelah itu barulah kami pulang kerumah dan beristirahat.
Di kota sebesar dan semegah Tokyo ini, aku hidup seorang diri. Namun aku sudah terbiasa dengan cara hidup seperti ini, Indonesialah yang telah mengajarkanku banyak hal yang sebelumnya tidak aku ketahui. Bagaimana cara bertahan hidup ditengah metropolisnya ibukota, bagaimana cara membagi rasa dengan orang lain dan bagaimana kau harus menghargai hidupmu. Disini aku harus bangun lebih awal untuk membuat roti sebelum toko dibuka. Itu bukan masalah bagiku karena sejak tinggal di rumah Bu De Marni aku sudah terbiasa bangun sebelum jam lima pagi dan tidur sebelum tengah malam. Uang yang aku dapatkan dari berkerja di toko roti ini aku kumpulkan sedikit demi sedikit untuk biaya kembali ke Indonesia.
Ada sesuatu yang membuatku begitu rindu negeri itu. Sebuah kerinduang yang teramat dalam kepada negeri melati yang begitu cantik. Sebuah negeri kepulauan di garis khatulistiwa, tanah melati yang aku rindukan. Tempat mama dilahirkan. Jasad kedua orang tuaku yang tewas pada kecelakaan tujuh tahun lalu ikut terbakar bersama mobil yang kami tumpanggi, sementara aku yang terlempar keluar selamat dari maut. Waktu itu kami dalam perjalanan ke bandara untuk kembali ke Indonesia menemui keluarga mama yang ada disana. Aku menganggap disanalah pusara mama dan papa, karena disanalah mereka dipertemukan. Sesuatu yang membuat airmataku berlinang jika mengingatnya. Dan juga sebuah keinginan yang belum bisa aku wujudkan sampai saat ini yaitu untuk bertemu dengan eyang di Jogjakarta.
Sampai detik ini aku tak tahu dimana dan bagaimana ia. Dan akhirnya setelah dua puluh bulan aku berada di negeri sakura ini, aku memutuskan untuk kembali ke Indonesia besok dengan menumpang pesawat yang akan berangkat pukul setengah sepuluh pagi. Sore hari sebelumnya aku sudah membereskan semua barang-barang yang akan aku bawa nantinya. Aku tak terlalu banyak membawa barang, hanya beberapa lembar pakaian, perlengkapan mandi dan alat rias, beberapa buku bacaan yang aku beli sewaktu kami berjalan-jalan ke Kanda Jimbocho, kotak musik pemberian nenek, dan beberapa album fotoku selama di Jepang.
Aku sudah memberitahukan niatku kepada kakek, dan seperti yang kuduga sebelumnya, kakek amat berang kepadaku. Dia menganggap aku tidak menghargainya dan tidak menghormatinya. Bahkan ia mengatakan bahwa ia tak mengharapkan kepulanganku lagi ke Jepang. Dia memberikan ku pilihan yang begitu sulit, namun aku sudah bulat dengan tekadku. Bibi Maekawa, Osamu dan Takeshi mengantarkanku ke New Tokyo Internasional Airport-Narita Airport. Aku menghaturkan rasa terima kasihku yang begitu besar kepada orang-orang yang banyak membantu dan memberikan dukungannya padaku di negeri ini. Takeshi begitu ngotot agar aku memikirkan lagi niatku itu.
“Itsu anata to mata aemasuka”24), tanya Takeshi ketika kakiku akan melangkah meninggalkan ruang tunggu bandara. Aku hanya tersenyum.
“Achira de tsuitara, sugu anata ni tegami o dashimasu. Jaa mata aimashoo, Takeshi-san”25)
Aku mantapkan langkahku untuk kembali ketanah melati. Bibi Maekawa menangis, begitu pula Osamu dan Takeshi. Aku kembali melangkah dan terbang jauh meninggalkan negeri sakura yang telah memberikan kenangan yang terindah padaku selama dua puluh bulan terakhir.
Kakek tidak datang mengantarku, sedih rasa hatiku melihatnya. Tak ada sedikit pun niatku untuk mengecewakan dan membuat kakaksedih. Aku hanya menitipkan salam sayangku yang tulus serta permintaan maafku yang mendalam kepada kakek yang kutulis lewat sepucuk surat yang aku titipkan pada bibi Maekawa. Itu adalah satu-satunya cara yang bisa kulakukan karena kekek menolak menemuiku saat aku berpamitan kepadanya kemarin. Dia hanya mengurung diri dalam kamarnya dan tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Mungkin dengan ini kakek sangat marah dan membenci diriku. Namun aku tetap sayang padanya.
***
24) Kapan aku akan bertemu denganmu lagi?
25) Aku akan mengirim surat setibanya disana. Sampai jumpa lagi, Takeshi.
BAB III
Pagi yang cerah, matahari bersinar tidak begitu terik, kuhirup dalam-dalam udara yang bertiup semilir, segar membelai hari. Dari sudut jendela aku melihat beberapa ekor burung gereja yang sedang berebut makan di halaman depan. Rasanya seperti mimpi aku bisa menghirup udara di bumi khatulistiwa ini lagi. Dan aku makin tak percaya jika pencarianku terhadap eyang hampir mencapai hasil yang aku harapkan, karena pada akhirnya aku dapat menjejakkan langkahku di bumi Jogjakarta. Namun aku tak tahu alamat eyang dimana.
Aku sudah coba menanyakannya kerumah Bu De Marni, namun hasilnya nihil. Bu De Marni dan Syula tidak tinggal lagi disana, rumah itu sudah dijual begitu juga restoran milik pak de. Tak seorang pun yang aku temui di Lampung yang bisa menjelaskan padaku kemana perginya bu de. Aku juga berusaha mencari tahu kabar Mang Jon, orang yang sangat berjasa dalam hidupku itu. Akan tetapi kabar buruklah yang aku dapatkan, Mang Jon meninggal dunia karena penyakit TBC nya yang sudah kronis. Sementara itu Arin pindah mengikuti orang tuanya ke Bandung. Aku tak tahu Bandung itu ada dimana. Jadi aku tak bisa menyusulnya. Sebelum pergi meninggalkan bumi Sang Bumi Khua Jurai ini, aku menyempatkan diri untuk berziarah kemakam Pak De Yasin dan Shaila. Semua kenangan indah yang pernah aku lalui bersama mereka datang dihadapanku. Aku menanggis diatas pusara mereka.
Sudah setengah bulan aku ada di Indonesia dan sudah satu minggu aku berada di Jogjakarta. Aku menumpang dirumah Ibu Syarif yang aku kenal saat aku tinggal di Jakarta dulu. Dia merupakan janda tua yang tinggal dengan seorang anak angkatnya Yeni. Kedua orang tua Yeni dan almarhum suami Ibu Syarif meninggal dunia dalam bencana tsumani di Nangroe Aceh Darusallam pada 26 Desember 2004 yang lalu. Ibu Syarif bekerja sebagai penjual pakaian jadi di sebuah kios kecil di pasar Malioboro. Sedangkan Yeni, turut pula membantunya di pasar setelah pulang sekolah.
Hari ini cuaca sangat bersahabat, cerah berawan, tidak begitu terik. Setelah semua pekerjaan rumah aku bereskan barulah pukul setengah sembilan pagi aku menyusul Bu Syarif ke pasar. Saat aku berjalan menyusuri lorong-lorong pertokoan di Malioboro, aku melihat sekumpulan wanita sedang berkumpul didepan pintu masuk sebuah mall, tampaknya mereka sedang berorasi. Mereka menuntut penurunan harga barang-barang kebutuhan pokok dan peningkatan upah kerja terutama bagi kaum perempuan. Ada sekitar delapan puluh delapan ribu warga miskin di Jogjakarta, padahal Jogja dikenal sebagai salah satu tujuan wisata yang banyak diminati oleh para wisatawan dari dalam ataupun luar negeri. Seharusnya dengan hal itu warganya bisa meningkatkan taraf hidupnya menjadi lebih baik. Para perempuan yang aku lihat itu membagi-bagikan selebaran dan sebungkus keripik singkong kepada para pengunjung dan pejalan kaki yang ada disekitarnya. Mereka juga melakukan long-march dari pasar Malioboro menuju Gedung Agung.
Aku membantu Bu Syarif sepanjang siang hari ini dikiosnya. Hari ini pengunjung tidak begitu ramai. Kemungkinan baru minggu depan pasar ini akan dipenuhi oleh para pembeli, karena mulai minggu depan anak-anak sekolah libur semester kedua. Hanya beberapa orang yang menawar dagangan kami. Sambil menunggu pembeli aku menyibukkan diriku dengan membaca buku tentang sejarah kota Jogjakarta yang aku pinjam dari Kak Ramdan, tetangga sebelah kiri rumah. Dia merupakan anak kos yang tinggal disebelah rumah Bu Syarif. Sedang asyiknya membaca, tiba-tiba saja Ramdan muncul dihadapanku bersama seorang laki-laki bertubuh atletis dan memiliki tinggi kira-kira 175 cm.
“Siang, Non. Serius amat bacanya”, sapanya padaku.
“Siang juga. Bukunya bagus sih. Mau borong nih ceritanya?!”
“Enggak, tadi habis dari toko buku dekat sini. Oya, kenalkan. Ini Hasan, teman kuliahku di UGM”
Kak Ramdan memperkenalkan temannya tadi kepadaku. Kami saling bersalaman dan menyebutkan nama masing-masing.
“Oya, Bu Syarif kemana?. Kok dari tadi tidak kelihatan?”, tanya Kak Ramdan lagi.
“Ibu pulang sebentar mengambil stok barang dirumah. Nanti juga dia datang. Kak Ramdan ada perlu dengan ibu?”
“Ah..Tidak. Cuma Tanya aja. Ya sudah, kami pamit dulu. Yang rajin ya kerjanya biar banyak dapat uang”
“Ok, Bos!”, sahutku.
Sekilas aku mencuri pandang kepada Kak Hasan, wajahnya tampan dan kulitnya putih. Cara bicaranya lembut dan sopan. Menurutku ia tipe orang yang kutu buku dan alim. Cara berpakaiannya sangat sederhana, kemeja kotak-kotak, celana panjang hitam dan sepatu kulit khas Cibaduyut. Sangat bertolak belakang dengan Kak Ramdan yang nyentik dengan kaos jangkisnya, jelana jeans dan sepatu ketsnya yang berwarna hitam. Walaupun begitu keduanya merupakan pemuda yang baik, sopan dan juga cukup tampan. Dan sejak saat itulah kami bertiga menjadi sangat akrab. Mereka berdua sering datang berkunjung ke kios ataupun kerumah untuk sekedar mengobrol ataupun mengajakku keluar. Kami selalu pergi bertiga, aku, Kak Ramdan dan Kak Hasan. Jika datang kerumah pun mereka selalu bedua. Aku sedikit heran dengan mereka, mengapa ada dua karakter manusia yang berbeda bagaikan bumi dan langit, akan tetapi sangat akrab bagaikan dua orang saudara kandung. Mungkin itu yang sering disebut sebagai “The Power of Frienship”, kekuatan persahabatan yang begitu tulus.
Besok adalah hari minggu, minggu kedua bulan Oktober. Aku dan Yeni berencana untuk pergi ke Sulawesi untuk berlibur dirumah adik sepupu Ibu Syarif yang bertugas di Makasar. Kami menghabiskan waktu selama satu minggu penuh untuk berkeliling kota Makasar. Selama disana Yeni mengajak ku melihat pusat pelelangan ikan Potere yang berlokasi kurang lebih tiga kilometer dari Pantai Losari. Disana kami membeli beberapa ikan segar untuk dibakar. Harganya sangat murah dibandingkan ditempat-tempat lainnya di Makasar. Para nelayan disana pergi melaut pada malam hari dan pulang pada pagi harinya dengan membawa hasil tangkapannya yang kemudian mereka bawa ke tabalolang atau para pengumpul. Tetapi ada juga yang menjualnya langsung diatas kapal-kapal kecil mereka.
Hari berkutnya kami pergi ke Kampung Jagung Takalar di Sulawesi Selatan. Didaerah ini banyak sekali para penjual jagung yang menjual dagangannya dipingiran jalan. Biasanya jagung yang mereka jual adalah jenis jagung ketan yang direbus dengan pandan dan jeruk nipis. Selain itu banyak juga orang yang menjual Rarakba, yaitu minuman khas masyarakat setempat yang terbuat dari rebusan air jahe, gula dan sedikit santan. Banyak pengunjung yang singgah untuk menikmati jagung rebus dan Rarakba, apalagi disaat musim hujan seperti ini. Ternyata di negeri ini banyak sekali tempat-tempat unik yang sangat menarik untuk dilihat dan dikunjungi.
Seperti pada liburan beberapa bulan yang lalu, aku, Kak Ramdan, Kak Hasan dan Yeni pergi ke kampung halaman Kak Hasan di Cianjur, Jawa Barat. Ada hal unik yang aku temui didaerah ini. Tepatnya di Cikangkung desa Sukajadi. Disana kita bisa menemukan mainan unik yang terbuat dari kayu. Orang-orang sering menyebutnya sebagai gasing. Bahkan disini banyak yang membuat dan menjualnya. Padahal di kota-kota besar lainnya di Indonesia sudah jarang ditemukan permainan tradisional seperti itu. Mainan-mainan tradisional biasanya kalah bersaing dengan mainan modern yang berorientasi pada kecanggihan teknologi.
Di Jepang juga ada permainan sejenis ini, namanya beigoma. Pada umumnya dimainkan oleh anak laki-laki. Pada zaman dahulu kala gasingnya terbuat dari kerang spiral, namun sekarang seiring dengan kemajuan teknologi, gasing di Jepang dibuat dari besi tempa. Aku bersyukur bisa menikmati keunikan dua bangsa yang darahnya mengalir deras ditubuhku. Dua bangsa yang besar dan memegang teguh budaya leluhurnya.
Aku juga sangat bahagia karena Tuhan telah mempertemukan aku pada sebuah keluarga yang sangat baik seperti keluarga Ibu Syarif. Dari mereka aku banyak belajar tentang hakikat kehidupan ini. Disinilah aku menemukan cinta dan keluarga yang selama ini pernah hilang dalam hidupku. Aku seperti hidup kembali dalam lautan kebahagian bersama seorang ibu dan adik angkat yang begitu tulus dan baik kepadaku. Disini aku juga menemukan seorang sahabat yang begitu setia membantuku dan disini juga lah aku menemukan cinta sejatiku. Namun aku tak tahu apakah perasaan yang dia miliki sama dengan perasaan yang aku miliki terhadapnya. Hanya waktu yang bisa menjawab semuanya.
Kecintaanku terhadap negeri ini semakin terpahat dalam jiwaku dan akhirnya aku memutuskan untuk menjadi warga negara Indonesia. Pada tanggal 12 November ini aku resmi menjadi WNI. Aku memberitahukan keputusanku kepada kakek di Jepang. Kakek sangat marah dan menganggap aku sebagai penghianat leluhur keluarga Yoshikawa. Karena hal itulah kakek melarangku memakai nama keluarga leluhurnya dan ia tidak mau menganggapku lagi sebagai cucunya lagi.
****
Surat yang datang dari Takeshi kemarin memberiku sebuah kenyataan pahit. Bulan puasa tahun ini merupakan bulan puasa yang terberat bagiku. Dibulan suci ramadhan ini aku harus menerima kenyataan pahit dari kakek yang dulu telah membuangku itu meninggal dunia karena terjatuh perkebunan. Kepalanya membentur bongkahan salju yang sangat keras dan mengenai bagian yang sangat fital sehingga nyawanya tidak tertolong lagi. Sementara itu eyang yang selama ini aku impikan pun tidak akan pernah bisa aku temui. Ia sudah meninggal dunia tiga tahun setelah meninggalnya Pak De Yasin. Aku baru mengetahuinya seminggu lalu saat Kak Ramdan berhasil mengetahui alamat eyang di Jogjakarta, akan tetapi kami datang sudah sangat terlambat.
Namun selama ini ada seseorang yang selalu menguatkan hatiku sehingga aku mampu bertahan dalam menghadapi cobaan hidup ini. Orang itu selalu baik kepadaku sejak pertama kali kami bertemu di Malioboro. Tatapan matanya memancarkan kelembutan yang luar biasa, kata-katanya selalu membawa kesejukan didalam hatiku dan segala tindak tanduknya selalu membuat hatiku terpesona. Semua perasaan itu hanya bisa aku simpan jauh didalam lubuk hatiku ini. Aku tak berani mengatakan hal yang sebenarnya padanya.
Setiap manusia berhak menentukan sendiri jalan hidupnya, begitupun dengan perasaan cinta dan kasih sayang. Dan ternyata cinta itu tak semudah mengucapkannya, tak seindah dan tak semulus cerita dalam buku. Love comes and goes. Cinta datang dan pergi. Tak ada seorang pun yang dapat mengetahuinya kapan waktunya ia datang dan kapan saatnya ia pergi. Tak seorangpun juga yang dapat menolaknya karena itu adalah takdir dan kodrat manusia sebagai makhluk Tuhan yang maha mencintai.
Hal yang tersulit bagiku untuk memilih terjadi pada hari ke lima di bulan Syawal. Takeshi datang menemuiku. Aku sama sekali tak menyangka bahwa kedatangannya itu akan memberikan sebuah pilihan yang terberat bagiku. Takeshi sudah bisa berbahasa Indonesia walaupun pengucapannya masih kurang dan terbata-bata. Ia mengajakku bertemu untuk makan malam. Dia sudah mengatur tempat dan waktunya. Semula kami hanya membicarakan hal-hal yang biasa saja sebagai dua orang sahabat lama yang sudah lama tidak bertemu.
“Yoshikawa san, kirei na da yo. Kirei na hitomi da ne”26)
“Arigatoo”27), ucapku malu-malu.
“Anata no koto o subete shiritai. Daijoobu desuka”28)
“Ee?”29)
“Aishiteru. Anata ni dai suki. Docchi demo, anata wa watashi no mono”30)
Ucapan Takeshi itu membuatku terperangah. Aku sama sekali tak menyangka bahwa ia akan mengatakan hal itu padaku. Aku tak tahu harus mengatakan apa kepadanya. Apakah baik jika aku berterus terang kepadanya?.
“Takeshi san, gomennasai. Anata wa watashi no tomodachi desu ne. Watashi ga suki dakedo, aishitenai. Watashitachi ni omoi de o arigatoo. Watashitachi no koto o itsumo omotteru”31)
“Doo desu ka, Yoshikawa san”32)
“Itsu ka kimi mono wakaru daroo”33)
“Tsukiatteru hito wa imasuka”34)
Aku tak menjawab pertanyaan Takeshi. Aku hanya diam dan tertunduk. Aku tak sanggup untuk mengatakan hal yang sebenarnya. Sesungguhnya dalam hati kecilku ini, aku ingin mengatakan bahwa ada seseorang yang teristimewa didalam hatiku. Tapi bibir ini tak sanggup mengucapkannya, penolakanku saja sudah cukup menghancurkan hatinya apalagi jika aku harus mengatakan yang sebenarnya. Dua hari berlalu sejak kejadian direstoran malam itu dan sejak saat itu pula aku tak mendengar lagi kabar dari Takeshi. Di hotel tempat semula ia menginap pun sudah tak ada. Mungkin saja ia sudah pulang ke Jepang dalam keadaan hancur dan patah hati. Aku merasa amat bersalah atas semua kejadian itu. Akan tetapi hati manusia tidak bisa dibohongi. Tak ada kata dusta dalam cinta jika tak ingin luka dan menderita. Dua minggu berikutnya aku mendapat sepucuk surat dari Takeshi. Lembaran kertas itu hanya berisi sebuah puisi yang ditulis dalam bahasa Indonesia.
Yoshikawa Raina-San to35)
Raina-Takeshi adalah sebuah mahakarya cinta
Yang tak pernah tertulis dalam kitab sang malaikat
Dua insane yang tak lekat dalam citanya
Raina-Takeshi adalah sebuah elegi yang tak terukir
Dalam nada-nada hidupnya yang sedu sedan
Mengapa jerat-jerat takdir tak menyulam asa dalam cintanya
Maafkan aku yang tak sanggup mengapai tapakmu
Maafkan aku yang tak berdaya disimpuh sang takdir
Dan maafkan aku yang begitu lancangnya
Memasuki gerbang hatimu yang tak termiliki
(mata aeru, watashi no dai sukii na hito)36)
Aku tak dapat menahan airmata yang terus mengalir dikedua pipiku. Dapat aku bayangkan betapa menderitanya ia saat ini. Betapa hancur hatinya. Aku mengambil selembar kertas dan menulis balasan untuknya. Surat itu berisi curahan hatiku dan permohonan maafku yang begitu tulus atas segala yang terjadi. Dan bulan berikutnya Takeshi pun membalas suratku. Dia mengatakan bahwa kebahagianku adalah hal yang paling ingin dilihatnya seumur hidupnya. Dia sudah bisa merelakan apa yang telah terjadi diantara kami dan ia mengatakan bahwa apapun yang terjadi kami tetap bersahabat. Karena cinta dan persahabatan itu tak menampakkan perbedaan yang berarti. Cinta adalah suatu persahabatan sejati antara dua orang anak manusia yang mengikat janji dihadapan sang maha kuasa. Persahabatan adalah jalinan cinta kasih yang terbina diantara anak cucu Adam.
Sungguh besar pengorbanan yang ia lakukan. Sungguh besar jiwanya. Aku sangat mengagumi sikapnya yang sangat kesatria. Semoga Tuhan memberikan kebahagian dan pilihan yang terbaik untuk sahabat terbaikku itu. Dia adalah sahabat terbaik yang pernah aku miliki didunia ini. Aku dan Takeshi tetap bersahabat baik dan saling menguatkan satu sama lain walaupun kami berdua tinggal di dua tanah yang berbeda, diatara dua langit yang tak sama.
***
26) Kamu cantik sekali. Kamu punyai mata yang indah.
27) Terima kasih
28) Aku ingun tahu segalanya tentang kamu
29) Apa?
30) Aku cinta padamu. Aku benar-benar menyukaimu. Bagiku kamulah segala-galanya.
31) Maafkan aku Takeshi. Kamu adalah sahabatku. Aku menyukaimu tapi aku tidak mencintaimu. Terima kasih atas segala kenangan yang indah. Aku akan selalu ingat kenangan kita berdua.
32) Kenapa, Yoshikawa?
33) Suatu saat nanti kamu akan mengerti
34) Kamu sudah punya pacar?
35) Kepada Nn. Raina Yoshikawa
36) Sampai jumpa wahai orang yang paling kusukai
Aku dan dia menjalani kehidupan dalam takdirnya masing-masing. Waktu yang panjang yang kami lalui akan mengubah segalanya menjadi lebih baik. Dan tahun ini adalah tahun ke tiga sejak kedatanganku yang kedua kali ke Indonesia. Dari waktu kewaktu hubunganku dengan Kak Ramdan dan Kak Hasan semakin dekat. Mereka berdua sering datang berkunjung kerumah.
Namun diantara keduanya yang bersikap lebih aktif adalah Kak Ramdan. Suatu saat dalam pembicaraannya berdua denganku dia pernah mengatakan sesuatu yang membuatku sedikit heran dengan sikapnya itu. Secara tersirat ia menanyakan apakah sudah ada seseorang yang teristimewa dalam hatiku dan ia juga pernah menanyakan pendapatku tentang Kak Hasan, sahabat karibnya itu. Aku hanya menjawabnya secara diplomatis sambil tersenyum malu-malu. Ia mengatakan hal itu beberapa minggu sebelum keberangkatannya ke Canada untuk meneruskan kuliahnya disana. Setelah itu kami tak pernah bertemu ataupun berhubungan lewat surat ataupun telepon. Sedangkan Kak Hasan pulang ke kampung halamannya di Cianjur dan bekerja di sebuah perusahaan ekspor import. Tali nasib kami saat ini terputus sampai disitu.
Satu setengah tahun aku tidak pernah bertemu dengan keduanya. Selama masa itu aku mulai berkenalan dengan Kak Rama. Aku mengenalnya di Bandung saat mengunjungi Yeni yang berkuliah di UNPAD. Dia merupakan manager marketing sebuah pabrik tekstil terkemuka di kota kembang. Orangnya sangat baik dan santun. Dia lahir dan dibesarkan di Lampung, tepatnya di kabupaten Lampung Tengah. Hubungan kami tidak berakhir sampai disitu saja, sejak pertemuan pertama kami di Bandung tempo hari, Kak Rama sering mampir kerumah jika ia sedang berada di kantor cabangnya di Jogjakarta. Dia juga sering menelepon ataupun sekedar mengirimkan sms padaku. Lama kelaman ada perasan yang teramat tulus tumbuh didalam hatiku dan hatinya. Rasa itu makin lama makin tumbuh dan berkembang mangalahkan perasaan yang selama ini telah aku simpan untuk seseorang yang tak pernah melirik kedalam hatiku. Seseorang yang berada jauh dari pandangan mataku namun selalu dekat dalam hati. Seseorang yang pernah mempesonakan hati ini dengan kelembutan pribadinya.
Cinta. Apa itu cinta? Tak ada seorang pun yang tahu dengan pasti apa maksud sepotong kata manis itu. Cinta hanya sebuah kata tanpa makna, tanpa arti, tanpa titik dan koma ataupun tanda baca. Polos namun begitu berarti dalam kehidupan ini. Namun cinta akan memberi arti bagi yang merasakan bahagia ataupun duka cita dalam kehidupan. Terkadang dalam cinta ada keegoisan, ada ketulusan, ada suka dan duka. Cinta tak selamanya harus memiliki dan tak selamanya membawa kebahagiaan ataupun kesengsaraan bagi pemujanya.
Hanya cinta kepada yang kuasa lah yang benar-benar murni dan suci. Karena Dialah yang maha mencinta dan hanya dialah yang memberikan cinta dalam setiap tarikan nafas mahluk di dunia ini. Tanpa kita mencintai zat yang Maha Agung itu niscaya tak mungkin kita dapat merasakan keagungan kata itu dan mustahil pula bagi kita untuk bisa mencintai diri sendiri dan orang yang kita cintai dengan sepenuh hati. Ada juga orang yang mengatakan bahwa akan jauh lebih baik hidup bersama orang yang mencintai diri kita, daripada hidup bersama orang yang kita cintai karena cepat atau lambat, sekarang atau nanti kita pasti akan mencintai orang yang mencintai kita. Namun sebaliknya orang yang kita cintai belum tentu mencintai kita. Mungkin dengan begitu hidup kita akan merasa jauh lebih bahagia karena pada dasarnya manusia itu akan merasa bahagia apabila ia dapat membuka matanya untuk menyadari bahwa ia memiliki banyak hal yang begitu berarti dalam hidupnya dan sesungguhnya manusia akan merasa lebih bahagia lagi apabila ia mau membuka mata hatinya dengan begitu tulus untuk menyadari betapa ia begitu dicintai.
Namun saat ini aku tersadar akan satu hal, mungkin selama ini aku hanya bertepuk sebelah tangan. Aku hanya menyimpan sebuah harapan hampa pada dirinya. Aku hampir putus asa menanti balasan darinya dan mungkin itu jugalah yang menyebabkan aku mengiyakan saat Kak Rama memintaku untuk menikah dengan dirinya. Kak Rama mengajakku ke rumah orang tuanya di Lampung. Ia bermaksud memperkenalkan aku kepada kedua orang tua dan keluarganya sekalian untuk mengutarakan rencana pernikahan kami. Bus AKDP yang membawa kami menuju kabupaten Lampung Tengah pun melaju dengan kecepatan sedang. AC mobil yang sangat dingin tidak mengusik asyiknya lamunanku. Aku memperhatikan keadaan disepanjang perjalanan, pikiranku bernostalgia kemasa lima belas tahun yang lalu. Dulu aku pernah diajak Pak De Yasin unuk melihat cabang restoran pak de yang ada disana. Pukul setengah sebelas siang kami tiba dirumah orang tua Kak Rama.
Semula keluarganya menentang hubungan kami berdua, mereka sedikit keberatan dengan latar belakang keluargaku yang rumit. Aku akui memang aku bukan asli warga negara Indonesia dan latar belakang pendidikanku yang tidak tamat SMP. Namun Kak Rama berhasil memberikan pengertian kepada mereka. Akhirnya mereka pun menyetujui dan merestuhi hubungan kami.
Pihak keluarga Kak Rama, Bu Syarif dan juga Yeni turut membantu kami mempersiapkan segala keperluan untuk acara pernikahan kami yang rencananya akan diadakan di Jogjakarta pada bulan Agustus nanti. Semua keluarga, teman dan relasi diundang. Hal ini cukup menyita waktu dan perhatian kami. Rencananya pernikahan kami akan memakai adat Jogjakarta karena orang tua Kak Rama pun merupakan orang Jogjakarta asli yang merantau ke Lampung. Sebenarnya Kak Rama mempunyai seorang adik yang sejak kelas lima SD tinggal bersama neneknya yang tinggal di Kota Gede dan saat ini sedang menempuh pendidikan di luar negeri.
Semua keluarga, teman dan relasi kami undang tak terkecuali Takeshi dan Kak Hasan. Aku tidak dapat menguhubungi Kak Ramdan karena sejak kepergiannya ke Canada ia tidak pernah menghubungiku. Aku sama sekali tidak mengetahui dimana ia berada, sedangkan Kak Hasan pernah beberapa kali menghubungiku walaupun cuma lewat sms. Kabar yang terakhir aku terima darinya kurang lebih delapan bulan yang lalu dan hingga saat ini tak ada kabar apapun yang aku terima darinya, nomor handphonenya tidak dapat dihubungi. Tapi aku telah mengirimkan undangan pernikahan kami via pos dua hari yang lalu.
Waktu pernikahan yang direncanakan semakin dekat, Takeshi sengaja mengambil cuti dari pekerjaannya dan datang ke Jogjakarta dua minggu sebelum pernikahanku dengan Kak Rama dilangsungkan. Aku benar-benar merasa kagum dengan kebesaran hatinya, bahkan ia juga turut andil membantu dan mengurus segala keperluan pernikahan kami. Aku sama sekali tidak menyangka atas perlakuan Takeshi terhadapku. Semula aku berfikir bahwa ia sangat marah dan membenciku atas penolakan yang pernah aku lakukan terhadapnya dulu. Ternyata dugaanku salah, ia adalah sahabat yang terbaik yang pernah aku miliki.
****
BAB IV
Pada hari ini, Jum’at tanggal 17 Agustus pukul 07.30 WIB yang bertepatan dengan hari kemerdekaan Republik Indonesia, akad nikah kami dilangsungkan di sebuah masjid di pusat kota Jogjakarta. Resepsi pernikahannya akan diadakan dua hari kemudian pada hari Minggu. Sebelumnya juga diadakan acara adat perkawinan khas Jogjakarta yang unik dan belum pernah aku lihat sebelumnya. Semua anggota keluarga hadir pada acara sakral itu kecuali adik Kak Rama yang kuliah diluar negeri. Ia tidak bisa hadir dihari pernikahan kami karena sedang menghadapi ujian. Tapi dia mengirimkan kado dan ucapan selamat kepada kami.
Kak Rama hanya dua bersaudara, dia hanya mempunyai seorang adik laki-laki yang biasa dipanggil dengan nama Aji. Aku juga belum pernah sekali pun bertemu dengan adiknya itu karena sejak kecil ia sudah tinggal dan diasuh oleh neneknya. Aku hanya pernah melihat foto mereka berdua waktu kecil sekali sewaktu berkunjung Lampung.
Pernikahan kami sangat bahagia. Setelah menikah kami tinggal di Jakarta karena Kak Rama dipromosikan sebagai manager operasional di kantor pusat Jakarta. Sebelas bulan setelah pernikahan kami, aku mengadung anak pertama kami. Akan tetapi aku kehilangan kesempatan untuk menjadi ibu karena aku mengalami keguguran saat usia kandunganku genap empat bulan. Aku sangat sedih dengan kejadian itu. Namun ternyata Tuhan masih mempercayakan kepada kami untuk memiliki seorang anak. Setahun berikutnya aku hamil. Dan hari ini aku berencana memeriksakan kandunganku ke dokter. Aku berangkat pukul sepuluh pagi dengan ditemani seorang supir dan seorang pembantu. Kali ini Kak Rama sangat protektif kepadaku, dia takut kejadian yang dulu terulang lagi pada anak kedua kami ini.
Setelah itu aku pergi kepusat perbelanjaan untuk membeli stok keperluan sehari-hari. Saat aku hendak keluar dari mall, aku berpapasan dengan seorang laki-laki yang amat kukenal. Orang itu adalah Kak Hasan. Alangkah terkejutnya aku ketika bertemu lagi dengannya setelah lima tahun berlalu. Begitupun dengan dirinya, terlebih saat ia melihat keadaanku yang sedang mengandung lima bulan. Kami berbicara cukup lama disebuah kafe didekat situ. Ternyata Kak Hasan tidak pernah menerima undangan yang aku kirimkan kepadanya. Saat itu ia sedang berada di Australia untuk mengurus keperluan perusahaan. Dia mengucapkan selamat kepadaku sambil mengulurkan tangannya. Aku menatapnya dalam-dalam saat menjabat tangannya. Tak lama kemudian dia berpamitan dan menghilang ditengah keramaian kota. Aku hanya dapat memandang kepergiannya dari jauh.
Sesampainya dirumah aku langsung masuk kekamar. Aku tak dapat menahan perasaan yang bergejolak dalam diriku dan airmata yang mengalir dipipiku. Aku tidak menyangka bahwa aku akan bertemu lagi dengan orang yang dulu pernah ada dalam hatiku. Orang yang dulu sangat aku sayangi. Tapi semua itu sudah sangat terlambat bagiku. Aku sadar bahwa aku tak boleh kembali ke masa lalu. Namun aku merasa tak kuasa untuk terus berpura-pura dihadapannya. Terlebih lagi sejak pertemuan di mall itu, kami berdua sering bertemu dibeberapa jamuan kantor. Kebetulan perusahaannya saat ini sedang menjalin kerjasama dengan perusahaan tempat Kak Rama bekerja. Aku tak berani menatap matanya saat bertemu dan berbicara dengannya. Tetapi aku berusaha bersikap wajar jika berhadapan dengannya agar tidak menyakiti perasaan Kak Rama yang kini sudah menjadi suamiku.
Setiap orang memang mempunyai masa lalunya masing-masing, bagiku kini Kak Hasan adalah masa lalu yang tak boleh aku buka kembali. Mungkin perasaan inilah yang dahulu pernah dirasakan oleh Takeshi disaat cintanya padaku bertepuk sebelah tangan. Tapi aku tak sekuat dia yang masih bisa tersenyum melihat orang yang amat dicintainya bersanding dengan orang lain. Terkadang aku menyesali nasib yang terjadi padaku. Kalau saja dahulu aku punya sedikit keberanian untuk mengungkapkan perasaanku padanya dan kalau saja saat itu apa yang aku rasakan juga dimiliki oleh dirinya, mungkin beban ini tak akan ku tanggung selamanya. Dan terkadang juga aku selalu berfikir bahwa tali nasib yang mengikatku selalu membawaku dalam kepedihan dan membuat aku selalu berada dalam dua pilihan yang tak sanggup aku lakukan.
Sedikit demi sedikit aku mencoba keluar dari perasaan yang menekan jiwa ini. Aku mulai mencoba lagi menumbuhkan rasa cinta kasih kepada suamiku yang selama ini sempat memudar sejak aku bertemu lagi dengan Kak Hasan. Aku sadar bahwa Kak Rama tak pantas aku perlakukan tidak adil seperti ini dan ia tak boleh menjadi korban dari kebodohan dan keegoisanku. Aku mulai menata lagi pilar-pilar rumah tangga yang telah kubanggun lebih dari dua tahun ini dan akhirnya aku berhasil mendapatkan lagi rasa cintaku untuk Kak Rama. Kehidupan kami pun berjalan seperti yang seharusnya.
****
Minggu kedua bulan Pebuari ini adik Kak Rama yang kuliah diluar negeri pulang bersama kedua orang tuanya. Dia telah menyelesaikan S2 nya dengan predikat yang memuaskan. Kak Rama dan aku menjemput mereka ke bandara. Tepat pukul 14.20 WIB pesawat yang membawa mereka tiba dibandara. Bukan main terkejutnya aku ketika mengetaahui bahwa adik kandung suamiku itu adalah Kak Ramdan. Ternyata nama Aji itu adalah nama panggilannya didalam keluarganya yang diambil dari nama tengah Kak Ramdan. Ramdan Aji Saputra. Bukan aku saja yang terkejut melihat kebetulan itu, Kak Ramdan pun demikian. Namun dia berpura-pura tidak mengenalku sebelumnya. Bahkan ia bisa tersenyum sambil menyalamiku ketika kakaknya memperkenalkan aku sebagai kakak iparnya.
“Kenapa kamu tak pernah menceritakan bahwa kamu dan kakakku sudah saling mengenal sebelumnya”, tanya Kak Ramdan padaku ketika kami berdua berada diteras depan pada sore harinya. Tak ada seorangpun ada disana selain kami berrdua.
“Walaupun sangat terlambat, aku ucapkan selamat atas pernikahan kalian juga untuk anak yang sebentar lagi akan kau lahirkan”, lanjutnya.
“Terima kasih”, ucapku singkat.
“Aku sama sekali tidak mengetahui kalau perempuan yang menjadi istri kakakku itu adalah dirimu. Kenapa kamu tak pernah cerita kalau kalian berdua sudah saling kenal”
“Kau salah. Aku dan Kak Rama bertemu setelah kamu pergi ke Canada tanpa kabar berita sedikit pun”
“Lalu bagaimana dengan Hasan?”
“Hasan?. Apa maksudmu?”
“Tanpa kamu katakan pun aku sudah tahu sejak dulu kalau kamu sangat mencintai Hasan, akan tetapi kamu tak berani mengatakannya. Begitu pula dengan Hasan. Dia jatuh cinta padamu sejak pertama kali bertemu denganmu di Malioboro beberapa tahun yang lalu. Dia sering bercerita kepadaku. Namun ia tak berani mengungkapkan perasaannya padamu, dia takut apa yang ia rasakan itu hanya ibarat si pungguk merindukan rembulan”
“Tidak mungkin. Kau pasti bohong”
“Asal kamu tahu saja bahwa semua yang aku katakan tadi adalah hal yang sebenarnya. Dan itulah kenyataanya. Satu hal lagi yang harus kamu ketahui ……”
Dia tak meneruskan ucapannya. Matanya seolah menatap jauh kedalam hatiku, begitupun aku. Namun cepat-cepat aku alihkan pandanganku dari matanya. Dia menarik tanganku ketika aku beranjak pergi.
“Kamu harus tahu bahwa kepergianku ke Canada sebenarnya adalah untuk menghindari diri dari kalian berdua. Dari Hasan dan juga kamu”
“Maksudmu?”
“Aku tak tahan dengan ketulusan cinta Hasan padamu dan juga aku tak sanggup melihat orang yang aku cintai ternyata lebih mencintai sahabat karibku sendiri. Aku tak tahan saat aku mengetahui bahwa orang yang ada dihatimu itu hanya ada Hasan. Karena terus terang aku juga memiliki harapan yang sama besar seperti yang dimiliki Hasan pada dirimu, namun aku tahu pasti bahwa dihatimu hanya ada Hasan seorang, begitu juga sebaliknya dan aku tidak sanggup untuk menghianati sahabat karibku sendiri. Persahabatan yang telah kami bina selama sepuluh tahun, aku tak mau merusak segalanya. Karena itulah aku memilih untuk pergi sejauh mungkin dari kalian berdua. Aku mencoba lari dari semua kenyataan yang terjadi. Aku berfikir bahwa mungkin dengan ketidakberadaanku diantara kalian berdua akan memberikan kesempatan yang besar bagi kalian untuk mendapatkan kebahagian yang berhak kalian dapatkan. Namun rupanya suratan takdir berkata lain. Dan aku sama sekali tidak pernah menyangka kalau akan begini jadinya. Aku lebih tidak sanggup lagi menerima kenyataan bahwa saat ini aku harus melihatmu sebagai istri kakak kandungku ”
Aku tak sanggup lagi mendengar apa yang ia katakan. Semua itu bagaikan sebuah petir yang menyambar tubuhku di siang hari. Aku berlari kedalam kamar dan mengunci diri disana. Airmataku mengalir tak terbendung lagi. Aku seolah ingin menumpahkan segala beban yang bertumpuh dan mengganjal dalam hatiku. Semua perasaan yang terukir dalam hatiku dan aku ingin sekali lari dari kenyataan yang baru saja aku ketahui ini. Mengapa sang malaikat begitu tidak adil terhadapku? Kenapa kami tak bisa bersama? Kenapa hal ini harus terjadi pada ku? Kenapa tidak dari dulu aku mengetahuinya? Kenapa dia tak pernah jujur kepada diriku? Berjuta pertanyaan itu membebani kepalaku. Ada sedikit sesal yang terukir didalam hatiku. Setelah agak tenang barulah aku bangkit dan shalat. Doa yang panjang terucap dari bibirku dan berjuta sesal yang begitu dalam aku haturkan karena keegoisanku terhadap tali takdir yang telah dituliskan dalam hidupku. Mau tak mau aku harus bisa keluar dari belenggu penyesalan dan ketidakberdayaan ini. Aku harus bangkit lagi dan merenda hidupku demi tanda cinta yang akan lahir ini.
Saat ini kandunganku sudah memasuki bulan ke sembilan, hanya tinggal menunggu waktu saja. Dokter memperkirakan pertengahan bulan ini bayiku akan lahir. Aku berkonsentrasi untuk menghadapi saat persalinan nanti, namun ada rasa cemas yang menghantui diriku. Ini bukan dikarenakan strees menghadapi persalinan nanti, melainkan karena firasat buruk yang aku dapati tiga hari yang lalu. Entah kenapa tiba-tiba fikiranku berputar-putar pada kedua orang yang telah mengukir sejarah besar dalam hidupku, Ramdan dan Hasan. Sejak kejadian disore itu Kak Ramdan tidak pernah datang lagi kerumah kami sedangkan aku sama sekali tidak mengetahui keberadaan Kak Hasan.
Aku berusaha menampik semua fikiran-fikiran buruk itu. Semula aku menganggap bahwa itu hanya sebuah fikiran konyol yang lahir dari hayalanku saja sampai suatu hari hal itu benar-benar menjadi kenyataan. Pagi itu kami mendapat kabar bahwa Kak Ramdan mengalami kecelakaan mobil. Mobilnya tertabrak oleh sebuah truk pengangkut kayu. Kak Rama bukan main paniknya ketika mendengar kabar itu, dia segera mencari tahu keadaan adiknya dirumah sakit Pusat Pertamina Jakarta. Sementara itu aku menunggu dirumah dengan perasaan cemas. Aku tak sabar menunggu kabar darinya dirumah sakit. Baru setelah pukul empat sore Kak Rama pulang kerumah.
“Bagaimana Kak? Apa semua baik-baik saja”, tanyaku begitu Kak Rama tiba dirumah.
“Alhamdulillah dia tidak apa-apa. Hanya sedikit luka dan memar ditubuhnya. Dokter sudah menanganinya, hanya tinggal menunggu pemulihannya saja”
“Syukurlah kalau begitu”, hatiku merasa sedikit lega.
“Hanya saja…….”
“Hanya saja apa, Kak?”, tanyaku penasaran.
“Hanya saja teman yang bersamanya saat itu dalam keadaan kritis dirumah sakit. Ia mengalami luka serius dan pendarahan dikepalanya. Sekarang ia sedang terbaring koma dirumah sakit. Pergilah kerumah sakit untuk melihatnya. Mungkin dengan kehadiranmu disana akan membawa sedikit harapan baginya”
“Aku?”
“Ya, aku rasa dia sangat membutuhkan kehadiranmu didekatnya saat ini”
“Siapa dia?”
“Kamu mengenalnya dengan baik. Dia adalah Hasan… Hasan Abdullah”
Bukan main terkejutnya diriku mendengar nama itu. Aku merasa seluruh tubuhku lemas tak bertulang, wajahku pucat, tubuhku terasa dingin dan gemetar. Perasaanku saat itu sangat kalut. Tetapi apa maksud semua ini?. Dari mana Kak Rama tahu tentang apa yang terjadi antara kami. Apa maksudnya dia menyuruhku kerumah sakit menemui Kak Hasan, sementara itu dia mengurung diri didalam kamar. Tapi aku sangat mencemaskan keadaan Kak Hasan dan dengan diantar seorang supir aku bergegas kerumah sakit menemuinya, disana sudah ada Kak Ramdan. Dia meninggalkan kami berdua diruangan itu. Sesaat kemudian Kak Hasan pun siuman untuk beberapa menit. Dia tersenyum saat melihatku berada dihadapannya. Aku merasa itulah senyuman yang terindah darinya yang pernah aku lihat. Dia berusaha mengatakan sesuatu kepadaku. Saat itu ia sempat mengucapkan sesuatu dalam bahasa Jepang dengan terbata-bata.
“Raina-san, go..gomennasai. Atashi…”37), aku menyuruhnya untuk tidak banyak bicara dulu.
“Iie, atashi wa shitsurei na hito deshoo. Demo, anata wa atashi ni tatemo shinsetsu deshita. Motto chikaku ni ki nasai”38)
Aku beranjak dari tempatku semula dan mendekat kepadanya. Aku duduk tepat disisi kanannya. Lalu ia mengatakan sesuatu yang nyaris aku tidak bisa mendengarnya. Ada beberapa kata yang terputus-putus diucapkannya sehinnga hampir tak terdengar olehku. Yang aku dengar dengan jelas adalah ucapan dua kalimat sahadat yang terakhir diucapkannya. Setelah itu kata-katanya terputus dan bibirnya mengatup.
37) Raina, maafkan aku. Aku …
38) Tidak, aku adalah orang yang tidak sopan. Akan tetapi, kamu sangat baik kepadaku. Mendekatlah padaku.
Untuk beberapa detik aku termanggu memandangi sesosok tubuh pucat pasi yang terbaring itu, beberapa saat kemudian barulah tangisku pecah dan Kak Ramdan pun datang. Aku hampir saja tak mampu menguasai diriku, hancur hatiku melihat orang yang sangat aku cintai selama ini pergi untuk selama-lamanya.
Tiba-tiba saja seluruh ruangan terasa gelap gulita, aku tak tahu ada dimanakah jiwaku untuk beberapa lama hingga aku tersadar dan mendapati diriku berada diruang ICU rumah sakit. Aku merasa tak sanggup untuk ikut mengantarkan jasad Kak Hasan ke peristirahatan yang terakhirnya. Aku hanya mengurung diri seharian didalam kamar. Hanya suamiku dan adiknya yang pergi kepemakaman. Aku tak lagi dapat menyembunyikan kesedihanku akan kepergian Kak Hasan. Entah bagaimana nanti tanggapan suamiku, tapi selama ini dia terlihat biasa-biasa saja. Mungkin saja ia tidak tahu apa yang terjadi diantara kami atau juga ia berpura-pura tidak tahu. Sudah satu minggu berlalu dari kepergian Kak Hasan, sampai saat ini pun aku belum bisa melupakan semua yang telah terjadi diantara kami. hari-hari yang kulalui perjalan dengan kesendirian. Aku lebih banyak berdiam diri, hanya beberapa kata pemanis saja yang aku katakan kepada suami dan orang-orang disekitarku.
****
Fajar pertama dibulan Mei terasa begitu mendayu-dayu. Bulan Mei adalah bulan yang penuh kenangan indah bagiku. Kedua orang tua ku meninggal dunia dalam kecelakaan mobil di Tokyo pada bulan Mei disaat aku masih sangat kecil. Saat pertama kali aku bertemu dengan Takeshi juga pada bulan Mei. Serta perpisahan ku dengan Kak Hasan juga terjadi di bulan Mei. Banyak hal-hal indah dan juga sedih yang pernah aku lalui pada bulan itu. Pagi ini sehabis shalat subuh aku berniat menghabiskan waktu dengan merolah raga ringan ala ibu hamil di halaman depan. Baru beberapa menit aku mengerakkan tubuhku, aku merasakan gerakan yang luar biasa dalam perutku, mungkin ini saatnya anakku akan lahir.
Karena kejadian itu seluruh rumah menjadi heboh. Sejak pukul tujuh lewat sepuluh pagi air ketuban sudah pecah dan Dokter sejak tadi sudah bolak-balik memeriksa keadaanku. Namun tampaknya persalinan sulit dilakukan karena ada kelainan pada posisi bayiku, sehingga dokter memutuskan untuk melakukan bedah sesar. Aku sangat takut menghadapi persalinan ini, aku ingin agar anak yang ada dalam kandunganku ini bisa lahir dengan selamat. Akan tetapi semua yang terjadi ini rupanya tidak selancar apa yang aku fikirkan. Samar-samar aku mendengar pembicaraan Kak Ramdan dan suamiku dari balik pintu kamar perawatan. Mungkin Tuhan sedang merencanakan suatu skenario baru buat hidupku. Aku hanya bisa pasrah dengan segala apa yang dituliskannya. Jika aku harus memilih, aku lebih memilih untuk memberikan kesempatan kepada bayiku untuk dapat mengenal dunia karena mungkin kelainan pada persalinanku kali ini akan memisahkanku dari fatmorgana dunia. Beberapa saat kemudian aku sudah siap diruang operasi.
Operasi berjalan dengan lancar dan bayiku lahir dengan selamat. Seorang bayi perempuan cantik berkulit putih dengan bibir mungilnya. Aku menanggis saat anakku itu ditidurkan disisiku. Aku ingin memeluknya untuk terakhir kalinya. Kuciumi pipi merahnya, juga dahinya yang cantik.
Aku merasa kondisiku saat ini sangat lemah dan mungkin aku tidak akan pernah lagi bisa melihat malaikat kecilku ini. Nafasku sesak, dengan terputus-putus aku bisikkan sesuatu ketelinga suamiku, kemudian dengan berlinang airmata aku membisikkan kata “Aishiteru”39). Dan akhirnya dengan tersendat-sendat aku ucapkan dua kalimat sahadat. Sesaat aku merasa duniaku menjadi gelap, namun aku melihat seberkas cahaya putih yang membimbingku pergi.
****
“Kak, kakak yang sabar ya. Mudah-mudahan Raina bisa pergi dengan tenang. Senyuman terakhirnya terlihat begitu cantik”
“Ya…dia tersenyum seperti seorang malaikat yang sedang tertidur dengan tenangnya. Hanya sepucuk surat ini lah yang ditinggalkannya untuk Puspa, putri kami. Dan ia menginginkan aku memberikannya pada saat Puspa berusia tujuh belas tahun. Dia hanya mengatakan bahwa itu adalah sebuah syair yang ditulisnya khusus untuk putrinya. Aku harus menjalankan semua amanat ini. Mungkin dengan ini dia akan merasa tenang. Mereka berdua memang tak bisa bersatu didunia, tapi mereka terbaring dipusara yang bersebelahan. Benar-benar pasangan yang serasi”
“Jadi… kakak…..”
“Maaf ya, aku tidak sengaja mendengar pembicaraan kalian berdua diteras depan waktu itu. Cinta sejati Raina hanya untuk Hasan, begitu pula sebaliknya. Pengorbanan yang begitu luhur dari seorang sahabat yang terbaik seperti dia. Perempuan sebaik dan setulus Raina memang pantas untuk dicintai dan mendapatkan segala cinta dan kebahagiaannya”
Rama menangis didalam pelukan adiknya Ramdan. Kedua pemuda itu hanya bisa menatap sepasang pusara yang bertuliskan nama Raina Yoshikawa dan Hasan Abdullah yang berdampingan.
39) Aku mencintaimu
Perempuan berhati lembut dari negeri sakura itu tidur dalam damainya untuk selama-lamanya pada tanggal tiga bulan Syawal. Mereka bersatu dalam cinta yang tak pernah mekar dalam duka dan cinta yang terlukis dalam sebuah elegi itu abadi dalam wanginya puspa yang bertaburan diatas pusara cinta mereka.
Saat itu Puspa yang baru berumur tiga hari itu tertidur dalam pelukan Rama. Syair terakhir yang dituliskan Raina untuk putrinya itu menjadi saksi ketulusan cintanya pada semua orang-orang yang mencintai dan dicintainya. Dia memang pantas untuk mendapatkan segala cinta yang tak pernah dimilikinya setelah apa yang telah ia lalui dahulu. Dan semua orang yang pernah mengenalnya akan selalu mengenangnya. Cinta terbesarnya dititipkan dalam sebuah syair cinta untuk putri tercintanya, terlebih lagi rupa Puspa sangat mirip dengan ibunya.
Puspa cintaku, tercantik dalam jiwanya
Tidurlah putriku tersayang
Jiwa sucimu sangat aku rindukan
Puspa ku yang teragung dalam hatiku
Belailah dunia dengan kasihmu
Kecuplah mahakarya agung dalam dirimu
Bersama lantunan lagu yang bergelora
Puspaku yang mewanggi
Maafkan aku yang tak menggapaimu
Jiwaku luluh dalam takdirku
Dalam maya kugapai matahariku
Mekarlah engkau dalam taman kayangan
****
Arsip Blog
- Mei 2010 (1)
- November 2010 (5)
- Januari 2011 (9)
- Juli 2012 (2)
- September 2012 (1)
- November 2012 (2)
- Januari 2013 (1)
- Desember 2014 (1)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar