Arsip Blog
- Mei 2010 (1)
- November 2010 (5)
- Januari 2011 (9)
- Juli 2012 (2)
- September 2012 (1)
- November 2012 (2)
- Januari 2013 (1)
- Desember 2014 (1)
Minggu, 13 Januari 2013
Di Balik Nisan Ayah
Ceper ini pernah di ikut lomba kan pada Lomba Menulis Cerpen FEMINA 2012-2013. Ditulis berdasarkan kisah nyata. Semoga menginspirasi.
DI BALIK NISAN AYAH
Tuhan dimana?!! Tolong aku ... aku takut dengan keramaian ini. Tubuhku bergetar hebat mendapatkan sebuah kenyataan yang begitu pahit. Melihat sesosok tubuh yang terbujur kaku di tengah rumah. Ya, Tuhan....tubuh kaku itu ayahku. Ya...itu mayat ayahku. Matahari yang sudah padam di atas langit, seperti matahari yang padam dalam rumah ini. Sebuah kisah sedih di Minggu malam.
***
Malam itu tepat sesudah azan isya dikumandangkan, suara tangis tertahan terdengar begitu lirih. Dan kami disibukkan dengan kegiatan membersihkan rumah. Bukan untuk menyambut sebuah pesta meriah dengan puluhan tamu yang tersenyum bahagia. Tepat ditengah rumah menghadap ke arah kiblat, sebuah kasur beralas seprai krem pucat dibentangkan. Tubuh ayah terbaring dengan tenang di atasnya, wajahnya sangat pucat, warna kulitnya pun berubah seperti kapas, tubuhnya mulai terasa dingin. Wajah ayah begitu tenang, ada senyuman tersungging dari bibirnya. Senyuman tulus dan penuh kehangatan yang pernah aku kenal. Aku melihat sekelilingku, diruang itu hanya ada aku dan ibuku. Dia terdiam. Tidak menangis, tak ada bekas airmata lagi dipipinya, tapi aku tahu jauh dihati kecilnya ia begitu berduka. Begitu kehilangan sosok yang ada bersamanya selama 23 tahun. Ibu mencoba tegar dalam kepasrahannya. Aku tatap matanya dalam-dalam, aku tersenyum penuh kesedihan. Aku berharap ini adalah sebuah mimpi buruk dimana aku akan segera terjaga dari tidurku. Tapi celakanya ini bukan mimpi buruk, dan kami tidak sedang tertidur. Ini sebuah kenyataan yang harus kami hadapi.
“Jangan menangis, jangan sedih. Ikhlaskan ayahmu”, suara bisikan hati mencoba menguatkan diri ini. Aku harus kuat, tak boleh menangis. Tak boleh terlihat lemah dihadapan ibu dan adik-adikku, karena aku ingin mereka kuat dan tegar.
“Tabah yaaaa....... Allah menyimpan yang terbaik untuk mu. Dia begitu menyayangimu dengan kesabaran mu menghadapi ujian-Nya, dengan doa-doa mu yang tak pernah putus...”
Kata-kata itulah yang berulang-ulang terlintas dalam pikiranku. Memberiku sedikit semangat dalam ujian bertubi-tubi ini. Dalam waktu yang tak berjauhan kami harus kehilangan orang-orang yang kami sayangi. Sebelas bulan yang lalu kekek meninggal dunia. Aku bisa membayangkan bagaimana perasaan ibu, dalam satu tahun dua orang yang disayanginya, ayah dan suaminya dipanggil Tuhan.
***
Malam sebelumnya, Sabtu malam pukul 21.30 wib, ayah bangun dan mengetuk pintu kamarku. Sepertinya ia ingin mengatakan sesuatu.
“Ada apa, Yah? Ini sudah malam”, tanyaku
Ayah berusaha mengatakan sesuatu padaku, namun rasa kantuk ini tak mapu lagi aku tahan, sehingga aku tidak begitu memperhatikannya. Sejak ayah terkena stroke setahun yang lalu, pita suaranya bermasalah sehingga ia tak bisa bicara lagi. Badannya yang gemuk tak tampak menunjukkan sakitnya.
Ayah menarik tangganku, membawaku kekamarnya. Aku lihat ibu sedang tertidur pulas, wajahnya begitu letih. Ayah menunjuk pada ibu. Aku mulai berfikir apa maksudnya.
“Ibu?? Kenapa dengan ibu? Ibu capek, Yah. Ada apa sih?”
Ayah menghela nafas panjang, dia duduk ditepi tempat tidur. Aku mendekatinya. Aku bujuk dia. Mungkin saja ayah tak bisa tidur dan tak ada yang menemaninya, jadi ia memintaku datang. Aku tawarkan ia makan, mungkin juga ia lapar. Ayah mengangguk.
Cepat-cepat aku kedapur dan mengambil sepiring nasi beserta segelas air. Aku kembali kekamar, duduk disampingnya dan menyuapinya makan. Ayah melahap semua nasi dipiring tadi. Tapi ia tak kunjung juga tidur. Aku lihat bajunya basah oleh keringat, aku membuka lemari dan mengambil sehelai baju batik Bali berwarna biru cerah yang aku belikan untuknya saat KKL ke Bali akhir tahun lalu.
“Tidur ya, Yah. Ini sudah malam. Besok lagi ceritanya. Sekarang ayah, istirahat saja dulu”, aku berusaha membujukknya tidur.
Ayah mengangguk, tapi sebelum ia merebahkan tubuhnya diatas tempat tidur, ia memegang tanganku. Dan lagi-lagi ia mengatakn sesuatu. Aku mengangguk sambil meng-iya-kannya, walaupun aku belum paham apa maksudnya.
Aku menungguinya untuk beberapa saat. Ayah tertidur pulas. Aku kembali kekamarku dan tertidur
***
Esok harinya. Minggu pagi. Setelah mandi dan sarapan pagi, aku mencari ibu. Suasana rumah terlihat sepi. Pagi itu pukul 07.30 wib. Ibu terlihat gelisah dikamarnya.
“Sudah sarapan, Bu”, tanyaku.
“Sudah”, jawabnya singkat.
“Kenapa?”, tanyaku.
Aku melihat seraut rasa gundah di mata ibu. Aku duduk didekatnya. Disisi bawah tempat tidur, tepat dikaki ayah yang sedang tertidur pulas.
“Hari ini ibu minta jangan ada yang pergi ya, kalian dirumah aja. Jangan kemana-mana”, pinta ibu.
“Ada apa sih?”, tanyaku heran
“Gak ada apa-apa. Pokoknya jangan ada yang pergi. Dirumah aja. Perasaan ibu gak enak”
Aku diam saja, sebenernya aku sudah ada janji ketemuan dengan Alex hari ini di kampus, tapi ibu minta aku begitu ya apa boleh buat. Aku kembali ke kamarku, mengambil sebuah buku dan membacanya. Kedua adikku sedang asyik didepan televisi, menonton film kartun kesukaan mereka.
Pukul 11.30 wib. Aku tutup buku ku. Sudah hampir waktu zuhur. Aku berniat buat mengambil wudhu. Sebelum kebelakang aku mengintip ke kamar ibu, disana aku lihat dia sedang mengaji. Aku dekati dia.
“Coba panggil kedua adikmu kesini”, pinta ibu sambil menyudahi ngaji nya.
Kami bertiga sudah berkumpul dikamar itu. Ibu masih duduk di kursi, disudut kamar. Ia menatap kami bertiga bergantian.
“Ibu mau bicara. Tolong dengarkan....”
Sejenak ibu diam. Menarik nafas, lalu menghembuskanya dalam-dalam.
“Kalo ayah punya salah dengan kalian, tolong dimaafin. Kalian harus tabah. Kayaknya usaha kita sampai disini saja. Ayah dari semalam tidur belum bangun. Kalau memang sudah sampai waktunya kalian jangan sedih, harus ikhlas”
Aku berbalik, menatap ayah. Aku perhatikan ia lekat-lekat. Ayah tertidur dengan posisi menghadap langit-langit dan kedua tanganya dikatupkan diantara dada dan perutnya. Sama seperti semalam saat aku tinggalkan ayah dikamar. Terlihat nafasnya turun naik. Huffttt....aku sedikit lega, tapi saat kusentuh kakinya dingin seperti es. Astagfirullah alazim. Ada apa ini??
Tak berapa lama setelah aku sholat zuhur, Adik kandung ayah dan kakak angkat Ayah datang beserta keluarga. Mereka langsung menuju kamar ayah. Tak lama kemudian sepupu ibu beserta keluarganya pun datang.
“Kalau dirumah sakit ini namanya koma. Tapi lebih baik tidak usah dibawa kerumah sakit. Ditunggui saja dirumah, Te”, ucap Uni Rini, keponakan ibu yang seorang perawat.
Aku mulai tak tenang. Berulang-ulang kali aku masuk kekamar dan membisikkan syahadat ketelinga ayah. Berharap ia mendengarnya dan bangun.
Sudah masuk waktu ashar, keadaan ayah belum juga berubah. Aku makin panik. Aku segera bersholat dan mengunci diri dikamar.
“Ya Allah... apa maksud semua ini? Apa benar praduga kami? Jika memang engkau hendak menjemput ayahku, aku ikhlas. Aku maafkan semua kesalahannya. Aku ikhlaskan semuanya. Tolong jaga dia...”
Aku menangis dan tertidur di atas sejadah dengan mengenakan mukenah lengkap. Sekejab aku melihat ayah berpakaian putih, seperti pakaian ikhram. Tesenyum padaku. Ya, Allah... apa maksud mimpi ini.
***
Suasana di pemakaman ramai, sanak saudara dan rekan-rekan ayah ikut menghadiri pemakamannya. Rasa sedih luar biasa melihat tubuh ayah yang terbalut kain kafan akan dimasukkan kedalam tiang lahat lalu ditimbun tanah. Adik bungsuku tak kuat melihat itu semua, ia jatuh terduduk sambil menangisi tubuh ayah yang sudah tak terlihat lagi, tertimbun tanah kuburan. Satu per satu para pelayat pergi meninggalkan pekuburan, namun adikku masih terduduk. Kami membujukkanya, menguatkan hatinya. Aku tatap wajah ibuku, dia hanya diam terpaku. Airmatanya tak sanggup lagi menetes. Berat hati meninggalkan ayah seorang diri di tanah gelap dan dingin itu.
“Tuhan… Engkau dimana??? Tolong aku …??!!”, ratapku dalam hati.
“Nak, yang sabar ya… do’akan ayah mu”, sapa seorang ibu, mungkin dia salah satu rekanan ayah.
Aku hanya menganguk pelan. Masih teringat saat aku memandikan tubuh ayah bersama kedua adikku. Gemetar tubuh ini dalam tangis tertahan. Sekarang aku harus berjuang bertahan hidup seorang diri, menguatkan hati ibu dan kedua adikku.
***
Aku memang tidak begitu dekat dengan ayah. Mungkin akulah yang menjauh darinya. Aku tidak benci ayah hanya saja rasa kecewa ini begitu dalam, tapi rasa sesal ini juga meninggalkan luka yang tak mudah sembuh.
“Maafin ayahnya nak, ikhlasin semua salah dan dosanya. Jangan kamu beratkan langkahnya”, ucap ibu saat yasinan kemarin.
“Yaaachh…”, jawabku tertunduk.
Hatiku sedih, kesal dan menyesal. Aku sempat terluka karena ayah. Sampai saat ini masih membekas di otak dan hatiku, saat teman-teman sekelas mentertawakan aku yang memiliki ayah seorang pengangguran. Sejak saat itu ejekan-ejekan teman pun menghujani aku. Terlebih lagi aku merlihat ibuku setiap hari bekerja banting tulang untuk memenuhi kebutuhan hidup kami. Bahkan airmatanya pun menjadi lauk makan kami. Lama-lama rasa benci itu tumbuh, aku mulai acuh pada ayah. Bahkan aku tak begitu perduli saat dokter memfonisnya terkena stroke. Yang ada dibenakku hanya ibu, aku kasihan dengannya. Ia berusaha mati-matian membuat ayah sembuh, namun dua tahun perjuangannya hanya berujung pada maut.
***
“Ingat ya… ayah tidak akan jadi wali kamu jika kamu nikah nanti”, ucap ayah marah.
“Biarin aja”, bantahku saat itu.
Aku membanting pintu dan masuk ke kamar. Amarahku membuncah saat mendengar ayah merngatakan hal itu. Itulah pertengkaran kami yang pertama dan terakhir. Aku kesal melihat ayah yang selalu memojokkan ibu, padahal ibu sudah berusaha mati-matian untuk menopang hidup kami. Sejak saat itu aku bertekad tak akan mengandalkan ayah.
“Astagfirullah ‘alazim… ampuni aku Tuhan. Ampuni aku yang durhaka ini. Sungguh aku menyesal..”, tangisku pecah dipusara ayah saat aku dan calon suamiku berziarah.
Empat tahun sudah ayah tiada, hanya nisaan ini yang menjadi saksi penyesalan hati ku yang terdalam. Tiga hari lagi aku akan menikah, sedih hatiku karena tiada ayah yang menjadi wali nikahku. Dan ucapan ayah waktu itu terbukti. Demi Allah aku menyesal melawan ayah, sehingga ia mengucapkan hal itu dan ucapan yang menjadi doa nya itu terkabul.
“Ayah… maafkan aku. Aku menyesal. Aku sayang ayah …”
(In memoriam 29 Mei 2005 pukul 19.15 wib. Selamat jalan Ayah …)
T.A.M.A.T
Langganan:
Postingan (Atom)